Badai Manis Rinjani...
Tak pernah sedikitpun aku
bermimpi akan merasakan hal tersebut. Aku memang pernah membaca tentang badai
Rinjani, tapi aku bukan pencari badai dan belum pernah merasakan secara
langsung bagaimana rasanya menghadapi badai.
Secara aku tinggal didaerah
tropis dan bukan pinggir pantai, jadi sangat jarang aku merasakan tiupan badai.
Paling juga angin puting beliung kalau orang orang bilang sih, tapi rasanya itu
bukan badai.
Saat membaca tentang
badaipun, tak ada gambaran pasti seperti apa rasanya badai dan aku juga tak
berharap merasakan badai. Aku hanya pernah melihat badai dalam laporan berita,
jadi wajar pengalamanku tentang badai sangat minim.
Jadi ketika saat aku naik ke
Rinjani dan bertemu dengan beberapa orang yang baru sampai ke puncak dan
sedikit bercerita tentang adanya badai saat itu, aku masih bisa tersenyum manis
mendengarnya. Paling paling angin biasa...
Mereka yang baru summit
memang mengingatkan kepada kami agar berhati hati. Seorang bapak yang bertemu
denganku di bukit penyesalan sempat berkata,” hati hati dengan angin datangnya
dari sebelah kanan, kalau bisa pakai baju jangan cuma satu lapis”. Aku
tersenyum mendengar perkataan si bapak dan aku menyimak betul kata kata bapak
tersebut dan beruntung aku bertemu dengannya.
Mereka tampak sangat lelah
entah seperti apa pengalaman yang mereka rasakan diatas sana. Dan ketika kami
bertemu mereka turun di sembalun, berarti target mereka hanya puncak rinjani.
Aku sempat bertanya,” gak
mampir Segara Anakan pak ?”
Si bapak menjawab,” gak,
udah capek dik.”
Dan memang tampak jelas raut
kelelahan dari wajah wajah perkasa mereka. Aku sempat bertanya pada mereka,
karena mereka memakai rain coat yang sama berwarna kuning. Dan ternyata
rombongan bapak bapak itu dari perusahaan New Mount Sumbawa. Waduh, bapak bapak
yang perkasa saja pulang lelah lunglai, bagaimana aku?
Tapi sudahlah, aku sudah
terlanjur menjejakkan kakiku pada kaki Rinjani dan aku sudah terbawa hingga
disini. Rasa takut dan ragu yang sempat menghampiriku berusaha aku tepis jauh
jauh. Apalagi aku datang sendirian, tapi aku berusaha untuk tidak merasa
sendiri.
Ini semua adalah keputusanku
sendiri, dan apa yang sudah aku putuskan harus siap aku terima resikonya. Semua
tinggal apakah Rinjani memilihku untuk menyentuhnya?
Semakin keatas semakin
terdengar suara angin yang mulai menyambut kedatangan kami. Ditambah udara
malam yang menemani kami semakin membuat suasana menjadi berbeda. Aku yang
diawal perjalanan berada didepan mulai merasakan sedikit ketakutan. Bukan rasa
takut akan sesuatu tapi ada rasa yang susah untuk aku jelaskan dengan kata
kata.
Aku bukan orang yang begitu
mudah percaya dengan hal hal yang mistis, tapi disini ada hal yang sulit untuk
aku jelaskan, aku hanya merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan.
Semakin keras angin terasa,
semakin membuat nyaliku sempat menciut, aku mencoba memberi beberapa sinyal
pada headlampku agar ada orang didepanku. Karena aku benar benar didepan dan
tak ada laki laki atau orang lain didepanku. Hanya aku dan Yuni dan entah siapa
dibelakangku, seingatku tadi bang boim. Tapi karena kita tiba di Plawangan
Sembalun sudah malam, jadi aku tak tahu lagi siapa dibelakangku, kecuali Yuni
yang aku ingat jelas he he he
Udara dingin semakin terasa
ditambah angin yang bertiup lumayan keras, rasanya ingin segera masuk kedalam
tenda dan berlindung dari terpaan angin yang tanpa lelah mendera kami. Tapi
rasanya kami harus menunggu.
Pemandangan langit malam
luar biasa indahnya, tak habis aku memandang kagum terpesona. Lagi lagi aku
diberikan suasana seperti ini, walau angin dingin terus berhembus, semuanya
sebanding dengan keindahan yang tersaji.
Dan akhirnya penantianku
berakhir juga, menyentuh langsung tubuh sang Rinjani dimulai pagi ini. Waktu
menunjukkan pukul 4.30 waktu setempat, aku hanya mendengar orang
mengatakannya,karena aku masih setengah sadar tanpa melihat sang waktu.
Perjalanan masih ditemani
angin yang berhembus seperti semalam, semoga
kami bisa bersahabat. Enaknya summit masih dalam keadaan gelap adalah
karena kita tidak melihat trek dengan jelas sehingga mengurangi semua pemikiran
yang bisa menghambat proses pencapaian.
Sedikit keatas trek mulai
berpasir dan ketika melewati punggungan kita disajikan pesona “sunrise” yang
cute. Tapi kita harus terus berjalan, mencoba selaras dengan sang waktu yang
tak pernah mau menunggu. Disini angin terasa sedikit hangat dan sepertinya
bersahabat, semoga saja.
Berjalan kurang lebih hampir
2 jam dan cuaca tiba tiba mulai berubah
tanpa bisa kami prediksi. Angin mulai berhembus kencang dan gelap tak kunjung
hilang, padahal kalau aku tak salah prediksi sekarang sudah lewat dari jam 6
dan sang mentari yang tadi memperlihatkan diri saat kami melewati punggungan
harusnya memberi sedikit kehangatan dan cahayanya. Tapi ini tidak.
Semakin keatas angin semakin
berhembus kencang, aku berpikir ini hal biasa karena kami semakin keatas. Dan
aku sempat bertanya pada bang boim yang asli lombok apakah hal seperti ini
biasa, dengan santainya ia berkata,” ya, biasa kok.”
Aku pun tenang saja walau
dalam hati bertanya ,”apakah ini badai yang diceritakan kemarin?”
Aku masih bisa tersenyum
mendengar beberapa celotehan teman temanku diantara rasa lelah saat menapaki
jalur berpasir. Saat beberapa temanku berteriak ,” sebentar lagi,tuh puncaknya,
istirahat dulu.” Kami memang berkumpul dan berbagi logistik yang kami bawa.
Aku sempat bertanya ,” emang
berapa lama ke puncak ?”
Aku mendengar ada yang
menjawab ,” sepuluh menit...”
“ Emang percaya sepuluh
menit,lis ?” entah Yuni atau Aniez yang berbicara.
Aku hanya tersenyum dan
berkata ,” percayalah...”
Padahal kata kata klise khas
“summiter” kalau aku bilang sih.
Sengaja aku membawa logistik
hanya air minum dan satu buah apel dan coklat karena teringat bapak dari New
Mount yang beberapa kali berkata jangan banyak bawa logistik. Hanya tambahan titipan
air minum Yuni ada di daypackku. Kami masih tersenyum manis, masih kuingat raut
muka teman temanku yang ingin menjamah tubuh manis Rinjani saat itu, beberapa
orang beristirahat sambil menghisap rokok yang mungkin sebagai penghangat tubuh
mereka.
Perjalanan kami lanjutkan
terus keatas sambil sesekali ada yang bersendau gurau, sedangkan aku berusaha
berdamai dengan diriku untuk bisa terus fokus pada tujuan. Sambil memotivasi
diri dalam hati...
Tiba tiba semua berubah saat
kami semakin menuju keatas, saat kami bertemu rombongan yang lebih dahulu
berangkat dari kami. Mereka dua orang bule yang sempat bertemu dan mengobrol
bersama kami, dan satu tim entah dari mana tapi kami sempat bertemu mereka di
pos 2. Seorang dari mereka bercerita kalau diatas badai besar dan guide yang
mengantar mereka berkata,” hati hati saja...”
Mereka sempat berkata kalau
perjalanan kami masih sekitar satu jam setengah kurang lebihnya.
Dan memang sepanjang
perjalanan kami, angin berhembus tidak
bisa diprediksi. Terkadang tenang, tiba tiba bisa sangat kencang dan membuat
kami harus berhenti dan mencari tebing tebing yang bisa melindungi kami sampai
angin kembali tenang. Hal itu sudah menemani kami mulai dipertengahan
perjalanan tadi.
Jadi kami sempat bingung
dengan peringatan tersebut, aku sempat bertanya kepada bang boim dan bang estu
yang menemani kami, situasi seperti ini amankah?
Kami sempat berunding bersama. Prinsipku
adalah “safety” terutama orang banyak.
Aku hanya berkata pada bang
estu,”kita naik bersama dan pulang bersama utuh, kalau yakin aman silahkan
lanjut.” Mereka yang tahu kondisi alam Rinjani, jadi aku percaya kalau mereka
yakin aman aku ikut. Walau dalam hati kecil terbersit sedikit rasa takut,
melihat angin yang terkadang membuat keseimbanganku tak berfungsi.
Akhirnya kami terus
melanjutkan perjalanan keatas, dan benar saja semakin keatas, angin semakin menunjukan kuasanya. Kami sama
sekali tak berkutik dibuatnya. Jarak pandang tak lebih satu meter, karena kabut
terus menemani kami. Tak bisa kami menjejakkan kaki dengan sempurna. Saat angin
kencang datang kami harus duduk dipasir dan berusaha mencari keseimbangan
diri,bahkan terkadang kami harus terus berjalan saat angin masih berhembus
kencang. Karena pasir ikut beterbangan bersama sang angin. Ini yang semakin menyulitkan
penglihatan kami. Tapi itu semua tidak meyurutkan semangat kami.
Masih kuingat saat bang
munif mendorong badanku agar terus berjalan keatas dan sesekali aku merangkak
menggunakan dengkulku karena angin tak
juga berhenti berhembus, persis anak kecil belajar merangkak. Kalau aku ingat
sekarang, aku bisa tersenyum tapi saat menjalaninya satu kata yang bisa aku
ucapkan,”luar biasa...”
Aku hanya berdoa agar kami
semua baik baik saja, apalagi saat melihat kondisi Onay, yang sangat jelas
terlihat kalau dia “drop”. Ketika melihat dirinya tampak pucat dan terlihat
sangat kedinginan, aku mencoba menghampirinya yang terduduk kedinginan. Aku
mendekatinya dan mencoba membuat dirinya hangat. Aku yang menggunakan pakaian
berlapis saja masih merasakan kedinginan apalagi Onay yang aku lihat hanya
memakai pakaian standar. Telapak tangannya aku coba hangatkan dan beberapa
temanku seperti bang boim memberi sarungnya pada Onay.Cuaca saat itu benar
benar ekstrem, sulit aku gambarkan dengan kata kata. Pantas saja saat aku
membaca tim ekspedisi cincin api yang juga mengalami badai seperti kami memilih
menunda dan kami malah memilih kebalikannya. Dan aku beruntung bisa merasakan
badai Rinjani, jadi aku bisa merasakan langsung apa yang pernah aku baca bukan
katanya atau ceritanya.
Kami berhenti sejenak untuk
membuat kondisi Onay menjadi lebih baik dan kedinginan adalah musuh terbesar
diatas gunung.
Aku khawatir melihat kondisi
bang Onay, sempat aku bilang jangan dipaksakan kalau gak kuat. Tapi entah mengapa
bang Onay tetap lanjut. Logika akhirnya harus tetap bekerja.
Semakin keatas semakin angin
bermain main dengan kami, kalau boleh aku memakai istilahku sendiri. Setiap
gunung memang mempunyai ceritanya sendiri dan itu sangat personal. Tak ada yang
akan memiliki kesan yang sama. Dan sepertinya Rinjani juga tak pernah mau
disamakan, karakter dirinya yang tak bisa ditebak membuat aku menyukainya,
pesonanya tersembunyi dan sangat mistis.
Pantas saja kalau masyarakat
setempat begitu menghormati gunung Rinjani.
Sang Gadis manis yang penuh
Kharisma, hingga banyak orang datang berusaha menyentuhnya. Dan aku pun ingin
menyentuhnya kembali...
Tapi yang lebih penting dari
itu adalah kami semua kembali selamat dalam kebersamaan dan utuh. Profisiat
buat Yuni yang baru pertama naik gunung akhirnya bisa sampai ke puncak Rinjani
euy,congratulation. Buatku Pendakian yang berhasil adalah ketika tak ada yang harus menjadi korban dan
logika tetap harus bekerja bukan nafsu atau ambisi.