Tuesday 27 August 2013

Tambora sebuah Perjalanan Yang Mengagumkan...

 
Perjalanan menuju puncak Tambora...

Diawali dari sekretariat HUMPA di gedung pemuda kabupaten Dompu, menggunakan truk dan ternyata lumayan banyak yang berencana merayakan 17 agustus di puncak Tambora. Kegiatan ini diikuti oleh beberapa komunitas pencinta alam. Dan perjalanan ini sepertinya akan menyenangkan.

Perjalanan menuju dusun pancasila dari daerah Dompu membutuhkan waktu sekitar 4 jam, dimulai sekitar pukul.1 siang WIB (+ 1 jam) .Sepanjang perjalanan merupakan pemandangan yang eksotis dimana kita dapat melihat hamparan padang sabana yang dipenuhi beberapa kumpulan hewan ternak seperti sapi, kuda, dan kerbau yang berkeliaran bebas tanpa di tunggu pemiliknya. Disini pemilik ternak hanya melihat ternak mereka 1 atau 2 bulan sekali tanpa harus takut kehilangan.

Hingga kami beristirahat di tepi pantai Hodo ( kalau tak salah mendengar). Uniknya pantai ini ada mata air yang keluar di dekat pohon besar dan saat membasuh mukaku aku mencoba merasakan air yang keluar rasanya memang asin (namanya juga tepi pantai) tapi kok bisa muncul mata air?? Harusnya aliran air tawar baru asin di lautan he he he ( ngaco tingkat tinggi...).

Perjalanan kami lanjutkan dengan masih melewati padang sabana  pada sebelah kiri jalan, semakin keatas tampak pemandangan laut yang memukau. Ditambah semakin senja lereng utara tambora memberi pemandangan sunset yang menawan. Andai saja bisa berhenti dan mengabadikan momen ini rasanya... tapi sudahlah melihat dan menikmati saja sudah lebih dari cukup, kenapa aku meminta lebih. Cukup disimpan dalam memori otak saja  he he he

Dusun pancasila, Desa Tambora.

Merupakan titik awal pendakian menuju puncak Tambora yang berada
diketinggian sekitar 775 mdpl. Kami tiba saat hari mulai senja, lapangan luas menjadi tempat pemberhentian kami. Memasuki rumah bang saiful atau yang sering disebut bang ipul dan sering dijadikan tempat peristirahatan sementara sebelum memulai pendakian. Beberapa sudah mulai mendirikan tenda di berbagai tempat hingga sekitaran lapangan.

Kebetulan mba Novi dan bu Tuti teman yang semula akan menjadi teman pendakianku sudah lebih dahulu mendaki Tambora jadi aku tak mungkin menyusul mereka. Hari sudah malam dan rencana pendakian akan dimulai esok hari. Saatnya istirahat dan menyesuaikan diri. Disini banyak cerita, yang sepertinya terlalu panjang kalau harus aku tuliskan. ( Tidur di tenda...zzzzzz ).
 
Pukul.08.45 WITA.

Pendakian menuju puncak tambora dimulai. Perjalanan dari sinilah yang merupakan perjalanan yang cukup panjang hingga menuju pos 1. Awal perjalanan kami harus melewati jalanan cukup lebar yang merupakan jalur kendaraan truk pengangkut hasil ladang kopi dan mungkin kayu. Disini kalau ada yang mau menggunakan ojeg hingga portal tak ada yang melarang kok he he he

Kanan dan kiri dipenuhi pohon kayu dan ladang kopi milik penduduk atau perusahaan. Dari buku yang aku baca sejak tahun 1980 daerah disini memang dibuka perkebunan kopi dan beberapa perusahaan kayu membuka lahan di kaki tambora. Dan jelas kalau memang aktifitas perkebunan kopi menjadi ciri khas masyarakat yang berdomisili di dusun pancasila.

Sebelum sampai Portal aku diajak bang Tiran melewati sebuah kampung Bali yang ternyata di sini terdapat sebuah Pura yang menjadi tempat beribadah mereka. Aku sempat mampir dan foto dengan beberapa orang, ternyata kami ditegur seorang ibu tidak boleh foto foto karena akan ada ritual upacara nanti. Wah, aku tidak tahu kalau akan ada acara ibadah aku hanya ingin melihat Pura ditengah hutan dari dekat saja. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan dengan ketidaktahuanku. Pura yang indah.                    

Hampir satu jam kemudian kami sampai di shelter yang di sebut Portal ( jam 09.50 WITA ).Lumayan sebagai pemanasan dan ternyata disini merupakan pertemuan dari dua jalur karena ada beberapa teman teman dari daerah Calabai  yang beristirahat bersama.

Selanjutnya perjalanan mulai memasuki ladang kopi dengan banyak pepohonan kayu yang ditebang ( ilegal loging??? ). Agak membosankan pemandangan disini karena sejauh mata memandang kopi dan kopi serta bonus rimbunan semak belukar berduri tajam ( Padahal bajuku sudah berlengan panjang masih saja cubitan manis itu terasa he he he ). Dan ternyata perjalanan dari sini hingga pos 1masih lumayan panjang, sekitar 2 jam lebih kami baru sampai di pos 1. Jam menunjukkan pukul.12.45 WITA saat kami beristirahat di pos 1( sebuah pos dengan bangunan dari kayu dibangun seadanya disebelah kiri jalur dan banyak potongan kayu yang bisa dijadikan tempat beristirahat sejenak.
Disini juga sering disebut pos pipa bocor, karena terdapat persimpangan pada pos 1, bila kita berjalan terus kearah sebelah kanan sekitar 50 meter kemudian akan menemukan pipa air yang bocor dan ditampung dalam bak (mungkin ini sebabnya dinamakan pipa bocor). Dan kami beristirahat lumayan lama disini sambil makan mie sayur daun pakis buatan bang son gimbal. Nikmatnya...

Perjalanan aku lanjutkan bersama lia dan mut disusul bang son, setelah kami beristirahat hampir satu jam. Aku berpikir jalan kami lebih lama jadi lebih baik curi start, biar bisa istirahat di pos 3 lumayan lama. Ternyata, perjalanan dari pos 1 menuju pos 2 masih membutuhkan waktu yang lumayan walau tidak sepanjang menuju pos 1. Disini mulai memasuki vegetasi hutan rimba tambora yang kanan dan kiri dipenuhi semak belukar berduri yang terkadang tanpa sengaja melukai bagian tangan kami (sentuhan sayang Tambora he he he). 
 
Jalur mulai sempit karena semak belukar semakin rapat memenuhi jalur yang kami lewati menuju pos 2. Dengan trek yang mulai menanjak tapi masih termasuk landai, kami harus menempuh waktu sekitar 2 jam menuju pos 2. Ternyata tanpa sadar aku dan lia berjalan terlalu cepat dan baru tersadar saat sepanjang jalur kami hanya berdua tanpa bertemu teman yang lainnya ( beruntung hari masih terang kalau malam hmm...). Dan ciri khas bila kita sudah dekat dengan pos 2 adalah suara  air sungai yang bakal kita dengar dengan disertai turunan tajam yang bakal menghantar kita sampai disebuah shelter yang cukup terawat. Di pos 2 terdapat sebuah shelter dengan sebuah pohon kayu besar berada didekatnya dan terdapat sungai yang sangat jernih dibawahnya.
 
Rasanya tempat yang sangat nyaman untuk beristirahat, dan saat itu memang banyak orang beristirahat bersama kami. Kami tiba sekitar pukul.16.30 dan menunggu beberapa teman sholat ashar, tempat ini tampak berbeda suasananya mungkin karena berada ditengah hutan rimba yang rapat dan banyak sekali pohon pohon besar tumbuh disekitarnya. Kesannya gimana gitu, padahal saat itu banyak teman teman yang beristirahat juga ( mulai aneh deh he he he ). Disini kami tidak terlalu lama karena berusaha mencapai pos 3 tidak terlalu malam, dan aku, lia, mut serta bang son ternyata sama sama menyimpan head lamp dan senter pada tas lainnya. Tapi aku tadi beruntung dipinjami eit salah ding diberi korek gas yang sekaligus bisa menjadi senter oleh mas mas yang juga beristirahat bersama kami. Lumayan kalau kemalaman gak kayak sibuta dari goa Tambora he he he

Setelah pos 2 kami harus menuruni sebuah jalur yang cukup curam melewati aliran sungai opi yang sangat jernih dan berbatu. Kemudian sedikit melipir dan mulai menanjak menuju pos 3. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 inilah yang menurutku menjadi sebuah perjalanan yang lumayan panjang dan mulai menguras tenaga. Karena jalur sepertinya mulai menanjak dan beberapa sedikit curam walau masih bisa ditoleransi. Mut yang mulai kelelahan ditemani bang son dan lia, aku mulai berjalan sedikit cepat karena tak ada senter yang aku pegang, dua korek gas yang aku minta tadi sudah aku berikan bang son dan lia agar bisa dijadikan lampu penerang. Karena sudah sangat pasti kalau kami pasti kemalaman dijalur.

Akhirnya aku bertemu dengan empat orang teman dari calabai yang bakal menuntun aku hingga pos 3 (lia,mut aman dikawal bang son..). Menuju pos 3 adalah perjalanan yang lumayan seru karena disini banyak sekali pohon besar tumbang yang bakal merintangi perjalanan kami menuju pos 3. Kalau pohon yang tumbang kecil mungkin tidak masalah tapi ini pohon yang besarnya bisa 2 atau 3 x badanku. Ditambah malam hari jadi semakin seru saja perjalanan panjang menuju pos 3 ini. Pokoknya melangkah dihutan Tambora siap siap melangkah panjang, karena kaki kita akan sangat sering melangkahi pohon besar yang tumbang (lebih seringnya sih memeluk pohon tumbang he he he). Satu kata yang aku bisa katakan Tambora = pohon tumbang. Dijalur inilah kami sempat dihibur sedikit dengan sunset Tambora, walau sebentar karena menghilang seiring dengan rimbunnya pepohonan.

Dan disinilah aku bertemu mbak novi, bu tuti yang sudah lebih dahulu mencapai puncak Tambora pagi dinihari tadi. Walau malam aku bisa menebak bahwa mereka adalah rombongan mba novi dkk, karena kebanyakan pendaki saat itu adalah pendaki asli daerah Dompu dan sekitarnya. Untuk pendatang akan jelas berbeda dari bahasa yang digunakan. Saat aku mendengar percakapan menggunakan bahasa Indonesia dan perkiraan bahwa malam ini mba novi dan bu tuti pasti akan berada dijalur yang aku lewati.

Trek tetap menanjak dengan disertai jalur yang tetap dengan rimbunnya semak terlebih saat mendekati pos 3. Aku jadi teringat kata kata bang son, kalau sudah melewati ilalang berarti sudah dekat pos 3. Dan ketika jalur semak mulai aku lewati, pikiranku langsung “pos 3 diatas” ( ya iyalah pasti diatas). Aku sempat berujar pada keempat abang tadi,” udah deket nih bang, banyak ilalang.” ( sok tahu tingkat tinggi )

Dan ternyata masih harus berjalan melalui semak belukar yang rimbun dan ilalang  yang lumayan tinggi sekitar 10 menit lebih baru kami sampai dipos 3. Ternyata pos 3 sangat ramai, seperti pasar malam saja. Tenda sudah banyak berdiri disepanjang jalur yang kami lewati. Dan akhirnya aku bertemu tenda  teman teman yang lebih dahulu sampai disini. Bang john dan kawan kawan sudah menanti disini, dan aku kemudian disuguhi energen karena aku tidak minum kopi he he he.
Api unggun tampak menyala disekitaran tenda, rasanya aku mungkin akan bingung kalau harus mencari tenda teman he he he

Jam menunjukkan pukul. 19.35 WITA saat kami sampai di pos 3. Dan kami beristirahat sambil menikmati segelas energen hangat dan api unggun serta bintang bintang yang tamapak semarak menghiasi langit malam. Aku rebahan direrumputan sambil menikmati sajian langit malam penuh bintang. Tambora menantiku...



Sepenggal Cerita Memikat Tambora...

 
Pendakian dimulai pukul.04 pagi.

Aku yang sejak tengah malam sudah mulai sulit tidur, berusaha untuk mengobrol dengan bang iping beberapa hal dan menikmati langit malam. Udara malam tambora saat itu tidak dingin malah cenderung hangat buatku. Atau mungkin karena banyaknya api unggun membuat udara sekitar lebih hangat? Padahal yang aku ketahui tentang Tambora, udara diatas sangat ekstrim dinginnya ( menurut literatur yang sempat aku baca ). Padahal jaket hangat yang sekaligus dapat aku jadikan raincoat sudah aku siapkan, karena aku sangat tidak tahan udara dingin. Ternyata malam itu belum berfungsi, aku masih bisa hanya menggunakan sleeping bag dan tidur diluar tenda. Padahal biasanya jangankan diluar tenda, didalam saja aku masih bergumul dengan jaket plus sleeping bag serta kaos kaki. Apa sleeping bagnya yang keren?? He he he

Sepertinya aku bisa beradaptasi cuaca malam itu.

Pos 3 menuju pos 4...

Trek yang langsung mendaki dengan ditemani gelapnya malam dan rimbunnya semak belukar berduri tajam menjadikan pendakian pertamaku ke Tambora semakin seru. Aku hanya mengikuti langkah kaki bang Tiran yang berada didepanku. Trek mulai sedikit bonus, tanjakan dengan kemiringan diatas 50° mulai menghadangku. Awal aku masih bisa mengikuti ritme langkah kaki bang Tiran, semakin lama aku mulai kewalahan. Sempat aku mengingatkan beliau untuk memperlambat ritme langkah kakinya agar aku bisa mengatur pernapasanku yang amburadul mengimbangi langkah kaki beliau. Bang Tiran yang sabar ya jalan denganku he he he.

Aku masih mencoba mengatur pernapasanku. Diam adalah alternatifku mengatur kerja paru paruku. Iri rasanya melihat bang Tiran yang sepertinya tak ada masalah dengan hal tersebut. Trek yang harus kutempuh hingga pos 4 sekitar 2 jam. Dengan hiasan tanaman jelatang mendominasi jalur menuju pos 4 ini. Ada jalur dimana kita harus berjalan diatas pohon tumbang  panjang dengan tanaman jelatang dikanan dan kirinya. Ini aku ketahui saat turun dari puncak siang harinya. Terlihat jelas tanaman jelatang tumbuh subur pada kanan dan kiri jalur tersebut. Beberapa kali aku meminta bang Tiran beristirahat sejenak, terlebih saat mendekati pos 4. Vegetasi saat mendekati pos 4 didominasi cemara gunung dan ada satu momen aku berada dijalur yang hanya dipenuhi ilalang dengan sedikit cemara. Langit malam begitu tampak luas terlihat, bintang tampak semarak diatas dengan bulan diantaranya dan aku meminta bang Tiran beristirahat sebentar disini. Aku ingin menikmati pemandangan ini, aku langsung rebahan diatas ilalang dengan hanya beralas daypack, sempat aku melihat bintang jatuh tapi sayang tak sempat aku mengucap apapun karena terlalu takjub he he he

Perjalanan kami lanjut terlebih saat melewati pos 4, karena hari sudah pagi pos ini dapat terlihat jelas tanpa shelter berada diantara pepohon cemara. Saat pulang turun, bang Tiran malah menceritakan beberapa cerita mistis gunung Tambora. Tapi itu semua aku anggap sebagai bumbu yang menambah seru rasa petualangan gunung Tamboraku.

Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 lumayan seru selain pos 2 menuju pos 3. Trekking langsung, bonus tanaman jelatang kalau tidak hati hati, beruntung jaket yang aku gunakan cukup melindungiku. Jadi tanaman itu hanya sesekali membuatku merasakan perasaan panas dan perih.

Pos 4...

Jam menunjukkan pukul.6.15 WITA semakin keatas dominasi padang sabana dengan cemara gunung menghiasinya. Mendaki bukit adalah bonus setelah pos 4, karena hari mulai terang semakin jelaslah pemandangan sekitar. Keindahannya mulai terlihat tak kalah dengan jalur sembalun Rinjani dan Merbabu, terlebih setelah melewati pos 5. Cemara gunung yang kering meranggas menambah anggun keindahan padang sabana Tambora. Jarak pos 4 ke pos 5 tidaklah sepanjang pos 3 menuju pos 4. Waktu yang kami butuhkan sekitar satu jam dengan langkah santaiku dan istirahat sebentar dengan trek yang cukup landai.

Pos 5...

Sebuah dataran yang dapat digunakan untuk camp dengan sumber air yang dapat digunakan sebagai cadangan air. Tapi air disini harus pandai pandai memilih, karena tidak sejernih dipos 2 dan sebelumnya tapi masih dapat digunakan he he he Trek cukup landai, jam menunjukkan pukul 7.15 waktu setempat.

Perjalanan selanjutnya kita masih mendaki bukit dengan kecuraman yang lumayan menguras tenaga, hampir mirip bukit penderitaan Rinjani tapi tidak sebanyak Rinjani. Nyaris sedikit bonus tapi pemandangan disini buatku sangat indah. Sayang kalau tidak dinikmati karena semakin keatas kita mempunyai pemandangan dengan suasana berbeda. Semakin keatas kita dapat melihat pemandangan pulau satonda dan laut, karena cuaca sangat cerah tampak menjulang beberapa puncak gunung. Terlebih saat mendekati kaldera kita dapat melihat puncak Rinjani dan puncak gunung Agung. Dan saat itu edelweiss Tambora bermekaran walau tak sebanyak Papandanyan dan Gede, rasanya mereka mempunyai pesona tersendiri.

Puncak Tambora sudah tampak selepas pos 5, saat telah melewati bukit dengan cemara dipuncaknya. Tampak berada disebelah kanan saat kita melintasi jalur dan saat matahari terang jalur menuju puncak sangat jelas terlihat dan ini yang sempat membuatku stress juga. Sempat aku bergumam dalam hati karena melihat jalur tersebut terlihat sangat jauh. Sempat hopeless juga, tapi aku sudah bertekad aku harus sampai dipuncak itu apapun caranya. Aku sudah sejauh ini dan semuanya harus tanpa sia sia. Lelah sudah jelas, kaki sudah mulai terasa pegal hanya semangat yang masih aku punya. Trek masih mendaki dengan kecuraman hampir 60 °. Bang Tiran berada dibelakangku dan tampak hanya kami berdua yang mendaki saat itu, kebanyakan orang sudah mendaki mulai malam hari dan saat itu sudah mulai menuruni puncak. Kami berpapasan dengan beberapa orang dan tampak 4 orang WNA beristirahat setelah lelah mendaki, aku sempat menyapa mereka dan mereka memberi semangat padaku dan mengatakan Tambora cantik. Mereka berasal dari Perancis, aku tak boleh kalah dengan mereka. Mereka saja bisa menikmati kecantikan Tambora maka aku pun mempunyai kesempatan yang sama. Aku harus sampai...

Lelah semakin terasa terlebih rasa haus, karena bang Tiran berada jauh dibelakangku aku tak bisa meminta air minum. Aku mulai kehausan dengan terik matahari langsung menerpaku karena vegetasi disini mulai berkurang hanya padang sabana. Aku sempat meminta minum pada beberapa orang yang berpapasan denganku, tampaknya puncak Tambora sudah menguras habis air minum mereka hingga tak ada lagi yang bisa mereka beri padaku. Ditambah lagi ada seorang yang bertanya padaku mengapa naik terlalu siang? Diatas mulai kencang angin dan kabut turun,”saya saja cuma sampai bukit itu tuh.” (sambil menunjuk bukit yang dimaksud ). Sempat ciut juga nyaliku (puncak masih tampak jauh ), tapi aku merasa yakin ada bang Tiran yang menemaniku dan aku harus mencoba sampai batas terakhir kemampuanku. Beruntung ada seorang yang masih memiliki sebotol air minum berisi sekitar 500 ml dan memberikannya padaku, kalau bukan diatas gunung rasanya aku tak ingin minum air itu karena sangat jelas kalau air itu berwarna kecoklatan dengan bonus rerumputan didalamnya. Tapi rasa hausku lebih besar dari yang lainya, air itu seperti oase yang melepas dahagaku dan memberiku semangat.

Bang Tiran tidak tampak didekatku dan selanjutnya aku berjalan sambil menunggu jarak aku dan beliau tidak terlalu jauh. Saat aku dapat melihat keberadaan beliau aku melanjutkan langkahku, jalur sangat jelas aku hanya tinggal mengikuti saja. Ternyata selepas pos 5 kita masih membutuhkan sekitar 3 jam perjalanan menuju puncak, dengan kontur tanah yang lumayan terjal hingga mendekati kaldera Tambora yang mulai didominasi tanah berpasir dan beberapa edelweiss. Pemandangan disini tak kalah cantiknya.

Saat mendekati kaldera Tambora aku semakin bertambah semangat hingga lupa kalau bang Tiran tidak tampak dibelakangku. Saat melewati pasir dan mendekati bibir kawah aku tersadar bahwa aku sendirian tak ada orang, bang Tiran tak jua tampak padahal langkah kakiku sudah mulai aku perlambat. 
 


Aku melihat kesekelilingku tak ada orang, aku sendirian, panas mulai terasa menyengat kulit walau tudung jaket sudah aku pakai. “ bang Tiran...,” aku mulai meneriakkan nama bang Tiran beberapa kali, dan aku tak mendengar sahutan. Kalau bang Tiran mengajakku bercanda saat ini sepertinya waktunya tidak tepat. Seharusnya bang Tiran tidak jauh dariku karena beliau dapat dengan mudah menyusulku walau dibelakangku, ritmenya memang seperti itu. Aku masih dapat melihat  keberadaan beliau menyusulku. Aku mulai ketakutan, aku masih memanggil nama beliau dan aku masih belum mendengar sahutan, angin diatas memang bertiup lumayan kencang tapi tidak berkabut.
 
Aku mulai berpikir kembali atau meneruskan langkahku. Jalur menuju puncak tampak jelas dan bibir kaldera tampak didepanku, tapi aku takut sendirian. Hampir sekitar 10 menit aku diam dan berteriak ,akhirnya aku memutuskan kembali berbalik mencari bang Tiran ( sebuah keputusan yang lumayan bodoh sebenarnya).

Akhirnya aku kembali menuju batas bukit dan kaldera, dan setelah 5 menit lebih berjalan bang Tiran tampak berjalan mendekatiku. Ah, bang Tiran ini bikin aku ketakutan saja he he
Beliau dengan santainya menjawab,” maaf tadi aku ketiduran sebentar.”

Gubrak... Ketiduran???

Aku ketakutan dirimu ketiduran bang he he he

Ya sudahlah permintaan maaf sudah lebih dari cukup, toh sekarang kan kita harus lanjut menuju puncak. Perjalanan kami lanjutkan hingga berada dibibir kawah Tambora yang luar biasa besar. Kaldera raksasa yang cantik tampak jelas didepan mataku, rasanya seperti mimpi saja. Keindahannya tak bisa terkatakan, pantas saja bule tadi bilang,” it’s beautifull..”

Hmmm...

Kami berfoto disini dan aku mengabadikan beberapa kesempatan menikmati kecantikan kawah tambora. Kata bang tiran terkadang kawah tambora tidak selalu dapat dilihat dengan jelas terlebih bila hari mulai beranjak siang, karena kabut kadang menghalangi pemandangan dibawah kawah. Dan kali ini aku beruntung masih dapat menikmati kawah tambora dengan sangat jelas. Danau yang berwarna kehijauan nun jauh disana, dan anak gunung Tambora yang terlihat kecil dari atas sini. Padahal katanya ketingiannya sekitar 2 meter lebih dan tidak bertambah, kata bang Tiran he he he

Beberapa kali aku diingatkan oleh bang Tiran saat menikmati kawah Tambora agar berhati hati saat berpijak. Karena struktur tanah dibeberapa tempat labil sehingga rawan longsor. Menurut cerita beliau diameter kawah selalu bertambah karena tanah longsor. ( Buku yang pernah aku baca mengatakan diameter kawah tambora sekitar 6 km berarti sekarang pasti bertambah... )

Rasanya kalau saja terik matahari yang menyengat dan puncak tambora masih menantiku diatas serta angin yang mulai bertiup kencang. Aku masih ingin berlama lama disini, jalur menuju puncak masih tampak terlihat lumayan jauh dari bibir kaldera dan sang waktu terus berjalan tanpa jeda.

Kami melanjutkan perjalanan dan panas membuat rasa haus semakin terasa, beberapa kali aku membasahi bibirku dengan jilatan lidahku ( hi...jijik ha ha ha) agar menghemat air yang semakin minim.

Jalur menuju puncak tampak terjal dari bawah padahal kalau dijalani biasa saja, debu pasir mulai menerpa wajahku dan aku mulai berlindung dengan syalku. Material pasir bercampur kerikil dan bebatuan  mulai mendominasi jalur menuju puncak. Disini mulai berhati hati karena terkadang licin terlebih saat turun. Dan setelah tertatih tatih beberapa jam, akhirnya kami tiba diatas puncak tambora sekitar pukul.10.30. Puncak tidak terlalu luas, hanya berupa dataran dengan tiang dengan bendera yang mulai usang dan terobek hampir setengah bagian. Mungkin karena kencangnya angin diatas. 
 
Hanya sujud syukur yang bisa aku lakukan saat kaki ini menjejak puncak Tambora. Mengingat semua perjalanan panjang yang aku lakukan, menjadikan semuanya sebuah keajaiban yang mengagumkan untuk diriku pribadi. Tulisan ini tak cukup menceritakan semua hal yang sudah aku lalui untuk mencapai salah satu mimpi besarku menggapai Tambora.

Terimakasih tak terhingga atas semua hal yang aku dapatkan, terlebih bang Tiran yang menemaniku hingga puncak Tambora. Terimakasih bang dan juga teman teman HUMPA dan komunitas lainnya yang sempat bertemu di beberapa pos... maaf kalau merepotkan dirimu dan teman teman. Terimakasih juga sudah menemaniku ke pantai lakey walau kemalaman akhirnya. Rasanya aku tak bisa membalas keramahan kalian dan maafkan kalau diriku membuat kalian terganggu dengan beberapa hal, mohon maaf teman teman...

Semoga aku masih diberi waktu menikmati Tambora Menyapa Dunia tahun 2015 dan dengan jalur yang lainnya yang tak kalah serunya!! ( Jalur Off Roadnya... Mimpi.com )