Tuesday 4 June 2019

Badai Manis Rinjani....


Badai Manis Rinjani...

Tak pernah sedikitpun aku bermimpi akan merasakan hal tersebut. Aku memang pernah membaca tentang badai Rinjani, tapi aku bukan pencari badai dan belum pernah merasakan secara langsung bagaimana rasanya menghadapi badai.
Secara aku tinggal didaerah tropis dan bukan pinggir pantai, jadi sangat jarang aku merasakan tiupan badai. Paling juga angin puting beliung kalau orang orang bilang sih, tapi rasanya itu bukan badai.
Saat membaca tentang badaipun, tak ada gambaran pasti seperti apa rasanya badai dan aku juga tak berharap merasakan badai. Aku hanya pernah melihat badai dalam laporan berita, jadi wajar pengalamanku tentang badai sangat minim.
Jadi ketika saat aku naik ke Rinjani dan bertemu dengan beberapa orang yang baru sampai ke puncak dan sedikit bercerita tentang adanya badai saat itu, aku masih bisa tersenyum manis mendengarnya. Paling paling angin biasa...
Mereka yang baru summit memang mengingatkan kepada kami agar berhati hati. Seorang bapak yang bertemu denganku di bukit penyesalan sempat berkata,” hati hati dengan angin datangnya dari sebelah kanan, kalau bisa pakai baju jangan cuma satu lapis”. Aku tersenyum mendengar perkataan si bapak dan aku menyimak betul kata kata bapak tersebut dan beruntung aku bertemu dengannya.

Mereka tampak sangat lelah entah seperti apa pengalaman yang mereka rasakan diatas sana. Dan ketika kami bertemu mereka turun di sembalun, berarti target mereka hanya puncak rinjani.
Aku sempat bertanya,” gak mampir Segara Anakan pak ?”
Si bapak menjawab,” gak, udah capek dik.”
Dan memang tampak jelas raut kelelahan dari wajah wajah perkasa mereka. Aku sempat bertanya pada mereka, karena mereka memakai rain coat yang sama berwarna kuning. Dan ternyata rombongan bapak bapak itu dari perusahaan New Mount Sumbawa. Waduh, bapak bapak yang perkasa saja pulang lelah lunglai, bagaimana aku?

Tapi sudahlah, aku sudah terlanjur menjejakkan kakiku pada kaki Rinjani dan aku sudah terbawa hingga disini. Rasa takut dan ragu yang sempat menghampiriku berusaha aku tepis jauh jauh. Apalagi aku datang sendirian, tapi aku berusaha untuk tidak merasa sendiri.
Ini semua adalah keputusanku sendiri, dan apa yang sudah aku putuskan harus siap aku terima resikonya. Semua tinggal apakah Rinjani memilihku untuk menyentuhnya?

Semakin keatas semakin terdengar suara angin yang mulai menyambut kedatangan kami. Ditambah udara malam yang menemani kami semakin membuat suasana menjadi berbeda. Aku yang diawal perjalanan berada didepan mulai merasakan sedikit ketakutan. Bukan rasa takut akan sesuatu tapi ada rasa yang susah untuk aku jelaskan dengan kata kata.
Aku bukan orang yang begitu mudah percaya dengan hal hal yang mistis, tapi disini ada hal yang sulit untuk aku jelaskan, aku hanya merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan.
Semakin keras angin terasa, semakin membuat nyaliku sempat menciut, aku mencoba memberi beberapa sinyal pada headlampku agar ada orang didepanku. Karena aku benar benar didepan dan tak ada laki laki atau orang lain didepanku. Hanya aku dan Yuni dan entah siapa dibelakangku, seingatku tadi bang boim. Tapi karena kita tiba di Plawangan Sembalun sudah malam, jadi aku tak tahu lagi siapa dibelakangku, kecuali Yuni yang aku ingat jelas he he he
Udara dingin semakin terasa ditambah angin yang bertiup lumayan keras, rasanya ingin segera masuk kedalam tenda dan berlindung dari terpaan angin yang tanpa lelah mendera kami. Tapi rasanya kami harus menunggu.

Pemandangan langit malam luar biasa indahnya, tak habis aku memandang kagum terpesona. Lagi lagi aku diberikan suasana seperti ini, walau angin dingin terus berhembus, semuanya sebanding dengan keindahan yang tersaji.
Dan akhirnya penantianku berakhir juga, menyentuh langsung tubuh sang Rinjani dimulai pagi ini. Waktu menunjukkan pukul 4.30 waktu setempat, aku hanya mendengar orang mengatakannya,karena aku masih setengah sadar tanpa melihat sang waktu.
Perjalanan masih ditemani angin yang berhembus seperti semalam, semoga  kami bisa bersahabat. Enaknya summit masih dalam keadaan gelap adalah karena kita tidak melihat trek dengan jelas sehingga mengurangi semua pemikiran yang bisa menghambat proses pencapaian.
Sedikit keatas trek mulai berpasir dan ketika melewati punggungan kita disajikan pesona “sunrise” yang cute. Tapi kita harus terus berjalan, mencoba selaras dengan sang waktu yang tak pernah mau menunggu. Disini angin terasa sedikit hangat dan sepertinya bersahabat, semoga saja.



Berjalan kurang lebih hampir 2 jam dan  cuaca tiba tiba mulai berubah tanpa bisa kami prediksi. Angin mulai berhembus kencang dan gelap tak kunjung hilang, padahal kalau aku tak salah prediksi sekarang sudah lewat dari jam 6 dan sang mentari yang tadi memperlihatkan diri saat kami melewati punggungan harusnya memberi sedikit kehangatan dan cahayanya. Tapi ini tidak.
Semakin keatas angin semakin berhembus kencang, aku berpikir ini hal biasa karena kami semakin keatas. Dan aku sempat bertanya pada bang boim yang asli lombok apakah hal seperti ini biasa, dengan santainya ia berkata,” ya, biasa kok.”
Aku pun tenang saja walau dalam hati bertanya ,”apakah ini badai yang diceritakan kemarin?”

Aku masih bisa tersenyum mendengar beberapa celotehan teman temanku diantara rasa lelah saat menapaki jalur berpasir. Saat beberapa temanku berteriak ,” sebentar lagi,tuh puncaknya, istirahat dulu.” Kami memang berkumpul dan berbagi logistik yang kami bawa.
Aku sempat bertanya ,” emang berapa lama ke puncak ?”
Aku mendengar ada yang menjawab ,” sepuluh menit...”
“ Emang percaya sepuluh menit,lis ?” entah Yuni atau Aniez yang berbicara.
Aku hanya tersenyum dan berkata ,” percayalah...”
Padahal kata kata klise khas “summiter” kalau aku bilang sih.

Sengaja aku membawa logistik hanya air minum dan satu buah apel dan coklat karena teringat bapak dari New Mount yang beberapa kali berkata jangan banyak bawa logistik. Hanya tambahan titipan air minum Yuni ada di daypackku. Kami masih tersenyum manis, masih kuingat raut muka teman temanku yang ingin menjamah tubuh manis Rinjani saat itu, beberapa orang beristirahat sambil menghisap rokok yang mungkin sebagai penghangat tubuh mereka.
Perjalanan kami lanjutkan terus keatas sambil sesekali ada yang bersendau gurau, sedangkan aku berusaha berdamai dengan diriku untuk bisa terus fokus pada tujuan. Sambil memotivasi diri dalam hati...

Tiba tiba semua berubah saat kami semakin menuju keatas, saat kami bertemu rombongan yang lebih dahulu berangkat dari kami. Mereka dua orang bule yang sempat bertemu dan mengobrol bersama kami, dan satu tim entah dari mana tapi kami sempat bertemu mereka di pos 2. Seorang dari mereka bercerita kalau diatas badai besar dan guide yang mengantar mereka berkata,” hati hati saja...”
Mereka sempat berkata kalau perjalanan kami masih sekitar satu jam setengah kurang lebihnya.
Dan memang sepanjang perjalanan kami, angin  berhembus tidak bisa diprediksi. Terkadang tenang, tiba tiba bisa sangat kencang dan membuat kami harus berhenti dan mencari tebing tebing yang bisa melindungi kami sampai angin kembali tenang. Hal itu sudah menemani kami mulai dipertengahan perjalanan tadi.

Jadi kami sempat bingung dengan peringatan tersebut, aku sempat bertanya kepada bang boim dan bang estu yang menemani kami, situasi seperti ini amankah?
 Kami sempat berunding bersama. Prinsipku adalah “safety” terutama orang banyak.
Aku hanya berkata pada bang estu,”kita naik bersama dan pulang bersama utuh, kalau yakin aman silahkan lanjut.” Mereka yang tahu kondisi alam Rinjani, jadi aku percaya kalau mereka yakin aman aku ikut. Walau dalam hati kecil terbersit sedikit rasa takut, melihat angin yang terkadang membuat keseimbanganku tak berfungsi.

Akhirnya kami terus melanjutkan perjalanan keatas, dan benar saja semakin keatas,  angin semakin menunjukan kuasanya. Kami sama sekali tak berkutik dibuatnya. Jarak pandang tak lebih satu meter, karena kabut terus menemani kami. Tak bisa kami menjejakkan kaki dengan sempurna. Saat angin kencang datang kami harus duduk dipasir dan berusaha mencari keseimbangan diri,bahkan terkadang kami harus terus berjalan saat angin masih berhembus kencang. Karena pasir ikut beterbangan bersama sang angin. Ini yang semakin menyulitkan penglihatan kami. Tapi itu semua tidak meyurutkan semangat kami.
Masih kuingat saat bang munif mendorong badanku agar terus berjalan keatas dan sesekali aku merangkak menggunakan dengkulku  karena angin tak juga berhenti berhembus, persis anak kecil belajar merangkak. Kalau aku ingat sekarang, aku bisa tersenyum tapi saat menjalaninya satu kata yang bisa aku ucapkan,”luar biasa...”

Aku hanya berdoa agar kami semua baik baik saja, apalagi saat melihat kondisi Onay, yang sangat jelas terlihat kalau dia “drop”. Ketika melihat dirinya tampak pucat dan terlihat sangat kedinginan, aku mencoba menghampirinya yang terduduk kedinginan. Aku mendekatinya dan mencoba membuat dirinya hangat. Aku yang menggunakan pakaian berlapis saja masih merasakan kedinginan apalagi Onay yang aku lihat hanya memakai pakaian standar. Telapak tangannya aku coba hangatkan dan beberapa temanku seperti bang boim memberi sarungnya pada Onay.Cuaca saat itu benar benar ekstrem, sulit aku gambarkan dengan kata kata. Pantas saja saat aku membaca tim ekspedisi cincin api yang juga mengalami badai seperti kami memilih menunda dan kami malah memilih kebalikannya. Dan aku beruntung bisa merasakan badai Rinjani, jadi aku bisa merasakan langsung apa yang pernah aku baca bukan katanya atau ceritanya.

Kami berhenti sejenak untuk membuat kondisi Onay menjadi lebih baik dan kedinginan adalah musuh terbesar diatas gunung.
Aku khawatir melihat kondisi bang Onay, sempat aku bilang jangan dipaksakan kalau gak kuat. Tapi entah mengapa bang Onay tetap lanjut. Logika akhirnya harus tetap bekerja.
Semakin keatas semakin angin bermain main dengan kami, kalau boleh aku memakai istilahku sendiri. Setiap gunung memang mempunyai ceritanya sendiri dan itu sangat    personal. Tak ada yang akan memiliki kesan yang sama. Dan sepertinya Rinjani juga tak pernah mau disamakan, karakter dirinya yang tak bisa ditebak membuat aku menyukainya, pesonanya tersembunyi dan sangat mistis.
Pantas saja kalau masyarakat setempat begitu menghormati gunung Rinjani.

Sang Gadis manis yang penuh Kharisma, hingga banyak orang datang berusaha menyentuhnya. Dan aku pun ingin menyentuhnya kembali...
Tapi yang lebih penting dari itu adalah kami semua kembali selamat dalam kebersamaan dan utuh. Profisiat buat Yuni yang baru pertama naik gunung akhirnya bisa sampai ke puncak Rinjani euy,congratulation. Buatku Pendakian yang berhasil adalah  ketika tak ada yang harus menjadi korban dan logika tetap harus bekerja bukan nafsu atau ambisi.







 




No comments:

Post a Comment