Friday 18 November 2016

S I M B O K

"Mbok,  kita kan sekarang cuma tinggal berdua, kenapa simbok tetap masak segitu banyak? Dulu waktu kita masih komplet berenam aja simbok masaknya selalu lebih. Mbok yao dikurangi, mbook...ben ngiriit.." kataku dg mulut penuh makanan masakan simbokku siang ini: nasi liwet anget, sambel trasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang uyah, sepotong ikan asin bakar,  dan jangan asem jowo. Menu surga bagiku.

Sambil membenahi letak kayu-kayu bakar di tungku, simbok menjawab, "Hambok yo ben toooo..."
"Mubazir, mbok. Kayak kita ini orang kaya aja.." sahutku.
"Opo iyo mubazir? Mana buktinya? Ndi jal?" tanya simbok kalem. Kadang aku benci melihat gaya kalem simbok itu. Kalo sudah begitu, ujung-ujungnya pasti aku bakal kalah argumen.
"Lhaa itu?, tiap hari kan yo cuma simbok bagikan ke tetangga-tetangga to? Orang-orang yg liwat-liwat mau ke pasar itu barang??" aku ngeyel.
"Itu namanya sedekah, bukan mubazir.. Cah sekolah kok ra ngerti mbedakke sodakoh ro barang kebuang.."
"Sodakoh kok mban dino?! Koyo sing wes sugih-sugiho wae, mbooook mbok!" nadaku mulai tinggi.
"Ukuran sugih ki opo to, Kir?" Ah, gemes lihat ekspresi kalem simbok itu!
"Hayo turah-turah leh duwe opo-opo..Ngono we ndadak tekon!"
"Lha aku lak yo duwe panganan turah-turah to? Pancen aku sugih, mulo aku iso aweh...". Tangannya yg legam dg kulit yg makin keriput menyeka peluh di pelipisnya. Lalu simbok menggeser dingkliknya, menghadap persis di depanku. Aku terdiam sambil meneruskan makanku, kehilangan selera utk berdebat.
"Le, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing-masing, tapi kewajiban kita kurang lebih sama: sebisa mungkin memberi buat liyan. Sugih itu keluasan atimu untuk memberi, bukan soal kumpulan banda brana. Nek nunggu bandamu mlumpuk  lagek aweh, ndak kowe mengko rumongso isih duwe butuh terus, dadi ra tau iso aweh kanthi iklas. Simbokmu iki sugih, le,  mban dino duwe pangan turah-turah dadi iso aweh, tur kudu aweh. Perkoro simbokmu iki ora duwe banda brana, iku dudu ukuran. Sing penting awake dewe iki ora kapiran, iso mangan, iso urip, iso ngibadah, kowe podo iso sekolah, podo dadi uwong.. opo ora hebat kuwi pinaringane Gusti Allah, ingatase simbokmu iki wong ora duwe tur ora sekolah?", simbok tersenyum adem.
"Iyo, iyoooooh.."
"Kowe arep takon ngopo kok aku masak akeh mban dino?"
"He eh."
"Ngene, Kir, mbiyen simbahmu putri yo mulang aku. Jarene: "Mut, nek masak ki diluwihi, ora ketang diakehi kuwahe opo segone. E....mbok menowo ono tonggo kiwo tengen wengi - weng ketamon dayoh, kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar malam-malam,kan paling ora ono sego karo duduh jangan..".. ngono kuwi, le. Dadi simbok ki dadi kulino seko cilik nyediani kendi neng paran omah kanggo wong-wong sing liwat, nek mangsak mesti akeh ndak ono tonggo teparo mbutuhke. Pancen niate wes ngunu kuwi yo dadi ra tau jenenge panganan kebuang-buang.. Paham?"
Aku diam. Kucuci tanganku di air baskom bekas simbok mencuci sayuran. Aku bangkit dari dingklikku di depan tungku, mengecup kening keriput simbokku, trus berlalu masuk kamar.
Ah, simbok. Perempuan yg tidak pernah makan sekolahan dan menurutku miskin itu hanya belajar dari simboknya sendiri dan dari kehidupan, dan dia bisa begitu menghayati dan menikmati cintanya kepada sesamanya dg caranya sendiri. Sementara aku, manusia modern yg bangga belajar kapitalisme dgn segala hitung-hitungan untung dan rugi, selalu khawatir akan hidup kekurangan, lupa bahwa ada Tuhan yang menjamin
hidup setiap mahluk yg bernyawa. Simbokku benar: sugih itu kemampuan hati utk memberi kepada yang lain bukan soal mengumpulkan untuk diri sendiri.
(dikutip dan disadur dengan beberapa editing dari sebuah cerita melalui media sosial whatsapp,entah siapa yg membuatnya,tapi simple dan bermakna...ijin mengutip dan pastinya yang membuat pasti dengan senang hati ceritanya dibaca banyak orang :-) )

Saturday 5 November 2016

Kelekatan

Ini seperti lem.
Sesuatu yang ditempelkan dengan lem akan melekat dan menempel pada yang dilekatkannya. Dan seperti ini juga memahami kelekatan itu. Ketika kita secara sadar atau tidak sadar melekatkan sesuatu dalam diri kita, secara otomatis itu yang menghambat diri dan perkembangan diri kita. Karena cara pandang dan sudut pandang kita hanya pada apa yang kita tempel. Kita tidak bisa bergerak bebas seperti kertas yang tidak diberi lem, dia akan terbang kemana saja angin meniup. Tapi ketika kertas itu diberi lem, dia kan sulit terbang ketika angin bertiup, karena ia akan begitu mudahnya menempel pada sesuatu dan ketika sudah menempel, kertas itu akan sulit untuk terbang kembali, karena ia terikat.

Oleh karena itu,jadilah seperti kertas yang tidak diberi lem, yang bisa bergerak dan tidak terikat, kalaupun ia sempat menempel, hanya sebentar dan bisa kembali mengikuti kemana angin bertiup, menikmati apa yang seharusnya dimaknai.

kesadaran

Hanya satu kalimat, tapi mempunyai arti dan pemahaman melebihi sebuah kalimat dan mungkin membutuhkan waktu.

Ini yang aku alami,memahami sebuah kalimat ini membutuhkan hampir seluruh waktuku. Dan tidak ada yang harus aku sesali,karena memang semua ada waktunya. Waktu aku memahami semuanya dengan seharusnya. Walau terkadang berpikir, kenapa harus sekarang?Tidak pernah tahu kenapa, dan tidak harus dipertanyakan. Semua ini hanya untuk menunjukkan kemanusiaanku, betapa tak ada yang aku bisa mengerti dan pahami kecuali jika semua karena kehendaknya.

Semakin semua aku sadari,semakin hati ini damai. Menyadari sesuatu hanya dengan menyadarinya saja, sudah cukup.