Desa Ngadas adalah desa
terakhir yang bisa kita temui bila hendak menuju gunung bromo dari kota Malang.
Dan disinilah aku mengalami cinta satu
malamku mengenal kebersahajaan masyarakat suku Tengger, dan aku bersyukur
bisa tinggal bersama keluarga pak Tris sebelum aku menikmati matahari terbit
gunung Bromo. Ini semua diluar perkiraanku kalau akhirnya aku malah bisa
bermalam bersama mereka, ini sengaja tidak disengaja, bingung kan?
Semua berawal karena aku kebingungan mencari tempat bermalam
setelah aku mengikuti retret MTO dan ingin mampir bromo sekalian, biasanya aku
memang mencari home stay on the spot he he he. Dan ini hasilnya, aku
mendapatkan no telp pak Mulyadi yang ternyata beliau adalah mantan petinggi
Desa Ngadas sebelumnya. Aku awalnya hendak bermalam dirumahnya, tapi karena ada
sesuatu hal diluar teknis akhirnya aku bermalam dirumah adik pak Mulyadi dan
untukku bukan sebuah masalah besar, aku terbiasa tidur dimana saja asal gak
dingin aja. Ternyata bulan ini adalah musim dingin bagi masyarakat Tengger, aku
salah perkiraan, hmm....
Siang hari aku sudah tiba di desa Ngadas sekitar pukul 1
siang, setelah sebelumnya aku mampir coban Pelangi. Dan aku masuk ke salah satu
kamar anak perempuan Pak Tris, ini aku lihat dari foto-foto yang menempel di
dinding kamar. Foto anak gadis yang manis menurutku. Kamar yang aku tinggali
cukup sempit, persis kalau aku tidur dalam tenda dome kapasitas3- 4orang tapi
buatku gak masalah toh aku diterima dengan sangat ramah. Pak Tris memiliki 2orang
anak, seorang putra dan putri yang sudah menikah, kebetulan cucu mereka tinggal
bersama mereka namanya icha, kurang lebih begitu panggilannya. Usianya sekitar
3 tahun dan amat sangat lengket dengan mbah putrinya, itu yang aku amati.
Masyarakat Tengger mayoritas beragama Hindu, tapi aku melihat ada beberapa
orang yang menggunakan jilbab, berarti disini juga ada orang muslimnya. Tapi
buatku cukup mengamati saja, aku kan bukan pendataan agama he he he.
Ciri khas yang aku lihat di setiap depan rumah ada tempat
menyimpan sesaji seperti rumah Bali tapi rumah disini seperti kebanyakan rumah
biasa di pulau Jawa bukan di pulau Bali. Dan aku melihat mereka membuat sesaji
didalam rumah, tadinya aku ingin bertanya kenapa diluar rumah aku tidak melihat
mereka menyimpan sesaji seperti masyarakat Bali pada umumnya, tapi aku kembali
teringat ,” hallooo... ini Tengger bukan Bali.” Mungkin seperti ini cara mereka
melakukan ritualnya, kenapa aku menyamakan dengan yang lainnya ha ha ha
Pada sore hari aku berjalan ke luar rumah dan mencoba
berjalan sekitar jalan desa hingga menuju pintu awal masuk desa. Kebetulan
rumah pak Tris berada di depan sebuah SD negeri dan aku mencoba mampir ke SD
tersebut dan mencoba melihat-melihat ke sekitarnya. Ternyata SD Ngadas ini
hanya mempunyai 5 kelas dengan asumsiku satu ruagan pasti dijadikan ruang guru
dan kantor, berarti hanya 4 kelas yang bisa dijadikan ruangan kelas dan
sejenisnya. Aku melihat atribut ekstra kurikuler bercampur dengan atribut kelas
lainnya, kesan yang tangkap adalah kelas ini adalah kelas campuran dan aku
melihat kursi dan lainnya dari luar. Aku membayangkan kalau kelas ini adalah
kelas kecil,kenapa aku beranggapan begini karena kursi yang disediakan sedikit
dan sepertinya di bagi menjadi 2. Aku sempat bertanya jumlah penduduk desa
Ngadas pada pak Tris saat aku berkumpul bersama mereka saat menghangatkan
diriku di perapian, pak Tris menjawab sekitar 500 KK kurang lebihnya. Berarti
kalau saja satu KK mempunyai 2 orang anak dan keluarga muda setengah dari
jumlah KK, berarti ada sekitar 250 KK dan jika mereka mempunyai 2 orang anak
dan setengahnya masih usia sekolah ada sekitar 100-200 kurang lebihnya anak
usia sekolah SD hmm...
Aku tidak melihat bangunan sekolah SMA disini dan ketika
aku tanyakan, memang kalau ingin bersekolah harus ke kecamatan Tumpang, yah
cukup jauh dan aku juga mengerti kenapa sekolah menengah atas hanya di Tumpang,
dan terbayang akses kesana, tapi ya seperti itulah keadaaannya. Ini mungkin
lebih baik jika dibandingkan dengan daerah lainnya yang mungkin jauh terisolir
di pedalaman-pedalaman hutan dan mungkin gunung atau pulau terpencil. Tapi ini
menjadi gambaran nyata, bahwa realita hidup kebanyakan orang adalah seperti
ini. Disamping sekolah SD terdapat polindes, mungkin ini perpanjangan tangan
dari puskemas sebagai fasilitas kesehatan yang bisa menjangkau mereka, dan
kebetulan Bidan Desanya tidak ada karena pintunya dikunci, dan sempat aku tanya
memang sedang pergi. Kemudian berjalan lagi aku melihat balai desa dan sebuah
pura yang sepertinya ini adalah pura Desa Ngadas. Sempat aku bertemu dengan
masyarakat setempat dan sepertinya mereka terbiasa dengan orang lain desanya,
dan mereka pasti tahu kalau aku bukan asli warga desa mereka. Dan aku tersenyum
saat bertemu dengan mereka, saat mereka memperhatikanku yang sedang
berjalan-jalan sore itu.
Kebetulan saat aku kesana baru saja musim tanam, jadinya
kebun-kebun tidak sedang hijaunya. Mungkin kalau sedang musim panen, akan
berbeda suasananya. Tapi aku cukup beruntung karena aku masih bisa mendapatkan
sisa cabe Tengger yang bisa aku bawa sebagai oleh-oleh walaupun tidak sebanyak
bila sedang panen, lumayanlah.
Kemudian aku kembali masuk kedalam rumah setelah berjalan
menikmati suasana sore hari, rasanya seperti mimpi. Aku kembali menghangatkan
diri di dalam rumah dan mengobrol beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskan
tidur sebelum dini hari aku berangkat ke penanjakan sekitar jam 3 pagi. Malam
ini pasti menjadi malam perjuanganku juga, karena cuaca malam sedang sangat
dingin. Sleeping bag sudah aku pakai dan selimut yang ada sudah aku gunakan,
tapi masih cukup terasa dinginnya padahal aku didalam rumah. Terbayang saat
malam di ranu kumbolo beberapa waktu yang lalu, dinginnya brrrr....
Dini hari, ibu sulasmani sudah membangunkan aku agar aku
tidak kesiangan, dan karena tidurku tidak cukup nyenyak karena dingin jadi aku
dengan mudahnya bangun. Persiapan baju dan jaket sudah aku pakai, dengan
menggunakan motor trail sesuai yang aku inginkan, pak Tris mengantar aku dengan
trek yang lumayan bikin deg degan juga, untung tidak sedang musim hujan jalur
tidak terlalu berat hanya pasir biasa.
Tapi saat di tengah dihamparan pasir, setelah melewati
bukit teletubies itulah aku melihat sinar rembulan yang masih dengan utuhya
menyinarkan cahayanya. Kalau lagi ngecamp disini kayaknya so sweet banget, tapi
apa iya bakalan sweety ya?Ada juga kedinginan campur pasir alias menderita he
he he
Cahaya bulan purnama seakan mengejek aku yang tak bisa
menikmati kecantikannya saat itu. Dan hamparan bintang diatas hamparan pasir
yang aku lewati dan kabut pagi yang cukup membuat kami kedinginan melengkapi
suasana malam itu. Yang jelas suasana malam di tengah hamparan pasir dan cahaya
rembulan dan bintang dengan kabut lumayan tebal menemani kami malam itu hingga
akhirnya aku menikmati matahari pagi itu. Dan rasanya biasa saja..Yang luar
biasa adalah kebersahajaan pak Tris dan Ibu Sulasmani bersama icha yang pemalu
yang mungkin masih bisa aku ingat....