Friday 20 October 2017

Desa Ngadas...




Desa Ngadas adalah desa terakhir yang bisa kita temui bila hendak menuju gunung bromo dari kota Malang. Dan disinilah aku mengalami cinta satu malamku mengenal kebersahajaan masyarakat suku Tengger, dan aku bersyukur bisa tinggal bersama keluarga pak Tris sebelum aku menikmati matahari terbit gunung Bromo. Ini semua diluar  perkiraanku kalau akhirnya aku malah bisa bermalam bersama mereka, ini sengaja tidak disengaja, bingung kan?
            Semua berawal karena aku kebingungan mencari tempat bermalam setelah aku mengikuti retret MTO dan ingin mampir bromo sekalian, biasanya aku memang mencari home stay on the spot he he he. Dan ini hasilnya, aku mendapatkan no telp pak Mulyadi yang ternyata beliau adalah mantan petinggi Desa Ngadas sebelumnya. Aku awalnya hendak bermalam dirumahnya, tapi karena ada sesuatu hal diluar teknis akhirnya aku bermalam dirumah adik pak Mulyadi dan untukku bukan sebuah masalah besar, aku terbiasa tidur dimana saja asal gak dingin aja. Ternyata bulan ini adalah musim dingin bagi masyarakat Tengger, aku salah perkiraan, hmm....
            Siang hari aku sudah tiba di desa Ngadas sekitar pukul 1 siang, setelah sebelumnya aku mampir coban Pelangi. Dan aku masuk ke salah satu kamar anak perempuan Pak Tris, ini aku lihat dari foto-foto yang menempel di dinding kamar. Foto anak gadis yang manis menurutku. Kamar yang aku tinggali cukup sempit, persis kalau aku tidur dalam tenda dome kapasitas3- 4orang tapi buatku gak masalah toh aku diterima dengan sangat ramah. Pak Tris memiliki 2orang anak, seorang putra dan putri yang sudah menikah, kebetulan cucu mereka tinggal bersama mereka namanya icha, kurang lebih begitu panggilannya. Usianya sekitar 3 tahun dan amat sangat lengket dengan mbah putrinya, itu yang aku amati. Masyarakat Tengger mayoritas beragama Hindu, tapi aku melihat ada beberapa orang yang menggunakan jilbab, berarti disini juga ada orang muslimnya. Tapi buatku cukup mengamati saja, aku kan bukan pendataan agama he he he.

            Ciri khas yang aku lihat di setiap depan rumah ada tempat menyimpan sesaji seperti rumah Bali tapi rumah disini seperti kebanyakan rumah biasa di pulau Jawa bukan di pulau Bali. Dan aku melihat mereka membuat sesaji didalam rumah, tadinya aku ingin bertanya kenapa diluar rumah aku tidak melihat mereka menyimpan sesaji seperti masyarakat Bali pada umumnya, tapi aku kembali teringat ,” hallooo... ini Tengger bukan Bali.” Mungkin seperti ini cara mereka melakukan ritualnya, kenapa aku menyamakan dengan yang lainnya ha ha ha


            Pada sore hari aku berjalan ke luar rumah dan mencoba berjalan sekitar jalan desa hingga menuju pintu awal masuk desa. Kebetulan rumah pak Tris berada di depan sebuah SD negeri dan aku mencoba mampir ke SD tersebut dan mencoba melihat-melihat ke sekitarnya. Ternyata SD Ngadas ini hanya mempunyai 5 kelas dengan asumsiku satu ruagan pasti dijadikan ruang guru dan kantor, berarti hanya 4 kelas yang bisa dijadikan ruangan kelas dan sejenisnya. Aku melihat atribut ekstra kurikuler bercampur dengan atribut kelas lainnya, kesan yang tangkap adalah kelas ini adalah kelas campuran dan aku melihat kursi dan lainnya dari luar. Aku membayangkan kalau kelas ini adalah kelas kecil,kenapa aku beranggapan begini karena kursi yang disediakan sedikit dan sepertinya di bagi menjadi 2. Aku sempat bertanya jumlah penduduk desa Ngadas pada pak Tris saat aku berkumpul bersama mereka saat menghangatkan diriku di perapian, pak Tris menjawab sekitar 500 KK kurang lebihnya. Berarti kalau saja satu KK mempunyai 2 orang anak dan keluarga muda setengah dari jumlah KK, berarti ada sekitar 250 KK dan jika mereka mempunyai 2 orang anak dan setengahnya masih usia sekolah ada sekitar 100-200 kurang lebihnya anak usia sekolah SD hmm...
                                                                    


            Aku tidak melihat bangunan sekolah SMA disini dan ketika aku tanyakan, memang kalau ingin bersekolah harus ke kecamatan Tumpang, yah cukup jauh dan aku juga mengerti kenapa sekolah menengah atas hanya di Tumpang, dan terbayang akses kesana, tapi ya seperti itulah keadaaannya. Ini mungkin lebih baik jika dibandingkan dengan daerah lainnya yang mungkin jauh terisolir di pedalaman-pedalaman hutan dan mungkin gunung atau pulau terpencil. Tapi ini menjadi gambaran nyata, bahwa realita hidup kebanyakan orang adalah seperti ini. Disamping sekolah SD terdapat polindes, mungkin ini perpanjangan tangan dari puskemas sebagai fasilitas kesehatan yang bisa menjangkau mereka, dan kebetulan Bidan Desanya tidak ada karena pintunya dikunci, dan sempat aku tanya memang sedang pergi. Kemudian berjalan lagi aku melihat balai desa dan sebuah pura yang sepertinya ini adalah pura Desa Ngadas. Sempat aku bertemu dengan masyarakat setempat dan sepertinya mereka terbiasa dengan orang lain desanya, dan mereka pasti tahu kalau aku bukan asli warga desa mereka. Dan aku tersenyum saat bertemu dengan mereka, saat mereka memperhatikanku yang sedang berjalan-jalan sore itu.
            Kebetulan saat aku kesana baru saja musim tanam, jadinya kebun-kebun tidak sedang hijaunya. Mungkin kalau sedang musim panen, akan berbeda suasananya. Tapi aku cukup beruntung karena aku masih bisa mendapatkan sisa cabe Tengger yang bisa aku bawa sebagai oleh-oleh walaupun tidak sebanyak bila sedang panen, lumayanlah.


            Kemudian aku kembali masuk kedalam rumah setelah berjalan menikmati suasana sore hari, rasanya seperti mimpi. Aku kembali menghangatkan diri di dalam rumah dan mengobrol beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskan tidur sebelum dini hari aku berangkat ke penanjakan sekitar jam 3 pagi. Malam ini pasti menjadi malam perjuanganku juga, karena cuaca malam sedang sangat dingin. Sleeping bag sudah aku pakai dan selimut yang ada sudah aku gunakan, tapi masih cukup terasa dinginnya padahal aku didalam rumah. Terbayang saat malam di ranu kumbolo beberapa waktu yang lalu, dinginnya brrrr....


            Dini hari, ibu sulasmani sudah membangunkan aku agar aku tidak kesiangan, dan karena tidurku tidak cukup nyenyak karena dingin jadi aku dengan mudahnya bangun. Persiapan baju dan jaket sudah aku pakai, dengan menggunakan motor trail sesuai yang aku inginkan, pak Tris mengantar aku dengan trek yang lumayan bikin deg degan juga, untung tidak sedang musim hujan jalur tidak terlalu berat hanya pasir biasa.
            Tapi saat di tengah dihamparan pasir, setelah melewati bukit teletubies itulah aku melihat sinar rembulan yang masih dengan utuhya menyinarkan cahayanya. Kalau lagi ngecamp disini kayaknya so sweet banget, tapi apa iya bakalan sweety ya?Ada juga kedinginan campur pasir alias menderita he he he


            Cahaya bulan purnama seakan mengejek aku yang tak bisa menikmati kecantikannya saat itu. Dan hamparan bintang diatas hamparan pasir yang aku lewati dan kabut pagi yang cukup membuat kami kedinginan melengkapi suasana malam itu. Yang jelas suasana malam di tengah hamparan pasir dan cahaya rembulan dan bintang dengan kabut lumayan tebal menemani kami malam itu hingga akhirnya aku menikmati matahari pagi itu. Dan rasanya biasa saja..Yang luar biasa adalah kebersahajaan pak Tris dan Ibu Sulasmani bersama icha yang pemalu yang mungkin masih bisa aku ingat....