Monday 29 October 2012

Magnet Kegagahan Mahameruku...


Alarm berbunyi....

Sepertinya aku mendengar dari tenda sebelah, dan aku terbangun. “ Jam berapa mas...?,” tanyaku pada tenda sebelah. Entah mas Page atau mas Jonjot berteriak, “ jam satu..” Karena suara kami sudah bersahutan berarti orientasi kesadaran kami sudah bukan dalam mimpi. Aku mulai membangunkan teman temanku dan tenda sebelah lainnya, dan persiapan summit dimulai. Sebelum memulai pendakian kami sempat menyeduh minuman hangat, lumayan buat penghangat tubuh.

Pukul.02 pagi...

Pendakian menuju puncak Mahameru dimulai, kami berkumpul bersama dan berdoa sebelum pendakian dimulai. Udara semakin menusuk kedalam tulang dan semakin terdengar berhembus lumayan kencang, akhirnya duo sidoarjo memulai pendakian dan yang lainnya menyusul. Aku dan dua rekannku berjalan dibelakang mereka, dibelakang kami purwokerto cs masih membereskan beberapa hal dan Niken masih berada ditendanya. Headlamp mulai kami nyalakan dan selangkah demi selangkah pendakian ini dimulai, ditemani tongkat sakti aku memulai perjuanganku. Kami masih menapaki vegetasi hutan dengan beberapa tempat terdapat jurang pada sebelah kanan kami. Beberapa kali kami melewati prasasti yang saat kami lewati masih belum jelas siapa pemiliknya.
Beberapa kali pemandangan kota Malang dan sekitarnya sempat menyita perhatianku dan seperti biasa aku selalu terpesona dengan hal hal seperti ini, walaupun hal seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh tapi buatku selalu menarik. Ada suasana dan nuansa yang berbeda untuk hal yang terlihat sama, itu yang selalu aku rasakan.

Angin sesekali terdengar mempermainkan dedaunan dan menimbulkan suasana yang “mistis” he he he Mungkin hanya imajinasiku saja yang sedikit ketakutan hingga sedikit berlebihan menafsirkan suasana dini hari itu. Sampai akhirnya batas vegetasi itu mulai terputus dan langit terlihat jelas, bayangan kegagahan Mahameru didepan terlihat samar samar. Kaki ini mulai menapaki jalur ber pasir  walaupun trek belum menanjak. Satu jalur pendek yang sepertinya kanan dan kirinya adalah jurang, mungkin ini yang namanya “Kelik” aku sendiri tidak paham. Setelah daerah tadi jalur mulai menanjak, belum terlalu curam tapi sudah mulai terasa.

Semakin keatas sepertinya trek mulai tidak bersahabat, memang tidak seperti gambaran orang yang bilang kalau naik 3 langkah turun lima langkah. Aku berusaha untuk tidak terlalu banyak merosot, aku harus berusaha menancapkan sepatu depanku sebagai tumpuan, dibantu tongkat pada salah satu tanganku. Dan berusaha mencari batu batu besar sebagai pijakan utamaku, walau ini berbahaya bagi orang yang ada dibawahku tapi aku berusaha seaman mungkin dan memperingatkan orang bila aku salah pijakan.

Awal pendakian aku memulai dengan target 5 langkah pelan dan berusaha tidak merosot banyak cukup satu langkah saja he he he. Memang agak sulit tapi aku tidak mau berkutat dengan cerita cerita kemerosotan yang hanya membuat stres. Aku sangat perlahan tapi berusaha pasti naik, selalu berusaha membuat target berapa aku harus melangkah dengan sedikit merosot. Aku juga menargetkan waktu aku untuk tiba dipuncak adalah pukul delapan  pagi, pertimbanganku adalah itu batas maksimalku bisa menikmati Mahameru. Badanku mungkin tidak terlalu kurus alias agak sedikit montok jadi mungkin bisa menambah beban saat menapaki trek dan lebih mudah merosot. Tapi aku harus bisa sampai diatas apapun caranya. 

Tapi ada senyum kebahagiaan, saat aku mulai kelelahan ketika beristirahat ditengah trek. Dan terduduk melihat cahaya lampu kota yang ada dibawah kita terlihat jelas dalam gelap dan bayang samar Arcopodo dan  sekitarnya, dan semilir udara dingin membuat sensasi tersendiri. Beberapa kali aku sengaja duduk sambil menikmati suasana tersebut. Rasanya saat itu aku ingin disini saja.

Ada temanku yang selalu mengingatkan waktu yang sudah kami tempuh dan aku sangat tidak suka cara itu. Aku sudah membuat batasan waktuku sendiri dan cara temanku itu hanya akan membuat aku stres, walau mungkin maksudnya baik untuk mengingatkan.

Semakin keatas semakin terasa berat langkah ini, kakiku semakin berkurang kekuatannya untuk menumpu dan ini yang membuatku sedikit stres. Langkahku semakin lambat dan berkurang, apalagi jika ada orang yang cepat langkahnya dan menyusul langkahku. Rasanya ingin bertukar kaki. Pagi itu sepertinya banyak orang yang ingin merengkuh Mahameru. Rombongan kami yang menginap di Arcopodo saja berjumlah 13 orang, Mas dari Surabaya yang aku titip tas kerilku dan menginap di Kalimati berjumlah sekitar 6 orang kalau tidak salah ingat, Empat orang bule dari Perancis yang sempat aku sapa bersama seorang guide. Jadi sangat ramai pendakian pagi itu, dan sudah berapa orang menyalip aku tapi aku berusaha fokus dengan diriku. Akhirnya sang mentari sedikit demi sedikit mulai membiaskan cahayanya saat aku masih ditengah perjalanan. Hampir dua jam lebih perjalanan, aku masih jauh dari puncak. Sunrise pun aku nikmati ditengah perjalanan, dan siluet Mahameru hanya aku bisa nikmati dan aku abadikan dalam memori ingatanku saja.

Dibawahku ada Reza yang sempat aku tanya, “ mana tugunya Reza..?”.

“Itu mbak diatas...,” jawab Reza.

“Yang mana sih?.” Aku mencoba memahami arah yang dimaksud Reza, tapi aku belum paham tugu yang dimaksud. Sambil berusaha mencari tugu yang dimaksud dan terus menapaki jalur pasir berbisik, karena kakiku semakin terasa nyeri dan langkah kakiku mulai bertambah lambat karena kelelahan. Tapi perjuanganku tak boleh sampai disini, semua harus berakhir di puncak Mahameru. Mengingat semuanya yang telah berkorban agar aku bisa merengkuh Mahameru dan memeluknya. Teringat adikku dan ibuku dan semua yang menginginkan salah satu mimpiku tercapai, aku tak tega membuat cerita sedih hanya karena aku menyerah. Aku harus sampai.

Aku dan Niken akhirnya bisa berbarengan mendaki, jarak kami tidak terlalu jauh dibandingkan lainnya. Dan aku selalu berusaha mencapai “tugu” yang terlihat tidak jelas dan menjadikannya patokanku untuk target pencapaianku. Aku akhirnya mulai kepayahan dan temanku akhirnya harus menyeretku naik. Walau diseret, bebanku masih terasa berat karena pernafasan mulai sedikit sesak dan aku berusaha mengatur pernafasanku.
Sedikit demi sedikit akhirnya “ tugu “ itu mulai terlihat tapi agak sedikit aneh menurutku, kenapa tugu itu terlihat tampak kecil dan sepertinya kenapa posisinya agak aneh?
Karena rasa lelah aku sudah tidak peduli segala hal yang terlihat aneh yang penting “tugu” mulai tampak. Aku mulai bersemangat dan akhirnya semakin dekat dengan “tugu” dan ternyataa...

Hanya sebuah bongkahan batu besar dengan botol aqua isi 500 liter kosong yang terpasang terbalik dengan mulut botol berada dibawah dan tersangkut paku atau entahlah apa yang membuatnya tidak terbang tertiup angin. Inilah “TUGU ABAL ABAL” yang menjadi targetku tadi. Aku tertawa dan beberapa temanku juga tersenyum. “ Reza..... ternyata Tugu Pancang Aqua bukan tugu Pancoran lagi,” rasanya ingin berteriak seperti itu. Tapi tugu ini juga berjasa membuat aku bersemangat mendaki Mahameru dan hampir separuh lebih perjalanan kaki ini melangkah untuk bisa mencapai Tugu ini. Sepertinya kekecewaanku masih butuh waktu untuk terobati.

Rasa lelah semakin mengerogotiku, rasa stres perlahan tapi pasti mulai menganggu konsentrasiku. Aku harus berjuang memotivasi diriku sendiri dan mulai mengisi pikiranku dengan cerita teman temanku yang sudah mencapai puncak lebih dulu dan membayangkan kebahagiaan yang sama saat bisa merasakan hal yang sama juga. Beberapa kali temanku mengingatkan kalau puncak sedikit lagi dan aku mulai tidak percaya kata kata itu lagi. Aku sudah hampir empat jam menapaki jalur pasir berbisik ini dan rasanya pasir ini mulai mengeluarkan bisa bisa kelelahan. Rasanya ingin merangkak dan kalau perlu tak perlu lagi melangkah. Batu batu mulai berkurang dan pijakan semakin berat dengan kecuraman yang membuat tanganku harus menapaki pasir langsung beberapa kali. Tongkat memang cukup membantu tapi ada saatnya harus mengandalkan tangan langsung.

Semakin lelah dan stres, dan aku harus terus memotivasi diriku.

Aku belum melihat orang turun dari puncak, jadi aku belum bisa bertanya pada mereka berapa lama aku masih harus mendaki dan aku melihat Niken diatasku menapaki jalur dengan kelelahan juga. Yah, hanya aku dan Niken yang berjenis kelamin wanita, sisanya pria. Dan kami berdua berusaha ingin merasakan hal yang sama. Merasakan bagaimana Mahameru membuat kami tersenyum dan menangis haru. Mahameru menempa kami dan membuat kami tidak menangis dan menyerah saat kami kelelahan dan rasa nyeri mulai menjalari kaki kami.

Saat puncak belum juga terlihat...

Aku salut juga dengan Niken fisiknya oke, secara usia memang Niken masih muda tapi aku tak boleh kalah dengannya. Aku harus punya semangat untuk meraih Mahameruku..
Akhirnya aku bertemu dengan bule yang turun dari puncak dan aku bertanya pada salah satu dari mereka tentang sisa waktu tempuhku hingga puncak. Dan dengan sopan ia menjawab pertanyaanku. “20 menit lagi...,” sambil sedikit memberi penjelasan tentang rute trek yang katanya mudah. Aku percaya pada mereka untuk masalah waktu tapi untuk trek rasanya tidak juga mudah.

Tapi yang penting aku mempunyai gambaran kenyataan tentang waktu dan aku menyesuaikan dengan kondisiku dan rasanya aku bisa sampai ke puncak. Karena waktu yang tersisa hingga pukul delapan masih ada satu jam lebih, jadi aku yakin bisa. Aku semakin bersemangat untuk mencapai Mahameru apapun kondisinya. Tapi dibawahku masih ada seorang temanku yang entah dimana posisi terakhirnya, Reza  dan seorang mas dari surabaya yang sepertinya sudah kelelahan juga. Sempat temanku yang bersamaku meragukan teman kami yang dibawah kami akan bisa mencapai Mahameru dengan batas waktu yang ada, tapi sudahlah semuanya harus terus berjalan apapun keadaannya.

Selangkah demi selangkah aku mulai terus menapaki jalur berpasir dan mulai sedikit meruncing jalurnya, sebelum akhirnya sebuah belokan kami tapaki dan akhirnya tampak lapangan luas berpasir didepan mataku dan dua orang berdiri menghadap kearah kami seakan menyambut kedatangan kami. Roy dan Gepeng sedang menikmati suasana sepertinya dan aku hanya bisa bersujud ketika akhirnya aku bisa sampai di puncak Mahameru dan terduduk sambil memandang sekelilingku sambil menangis haru. Tak ada yang tahu tentang tangisanku, rasanya tak bisa terbayangkan aku bisa berdiri disini dengan semua hal yang harus aku alami. Bagaimana adikku mengorbankan waktunya dan ibuku yang memberikan ijinnya padaku. Ini semua memang doa banyak orang yang tak bisa aku jelaskan satu persatu. 

Tim Purwokerto berhasil summit semua, timku juga akhirnya berhasil menggapai Mahameru termasuk temanku yang terakhir, Niken cs dan duo Sidoarjo, kami semua menyentuh dinginnya kegagahan Mahameru. Semua pesona yang tersaji diatas tak bisa diungkapkan oleh kata kata.

Dan aku bersyukur, Mahameru mengijinkan aku menjamahnya dan melihat pesona kegagahannya. Hanya beberapa prasasti dan tiang bendera yang menjadi tanda keberadaannya. Waktu menunjukkan pukul. 07.30 WIB saat kami berada diatas.
Udara tetap berhembus dingin walau sang mentari sudah memancarkan cahayanya secara penuh. Masih ada waktu untuk kami menikmati pesona kebaikan Mahameru. Dan kami sangat memanfaatkan waktu tersebut.

Tiba tiba terdengar suara deru seperti mesin pesawat dan keluarlah asap dari kawah “Jonggring Saloka” yang sedari kami berada disini diam membisu melihat tingkah kami disini. Beberapa temanku berusaha mengabadikan momen tersebut, tapi aku berusaha mengingatkan mereka kalau itu asap beracun. Dan beruntungnya angin tidak berhembus kearah kami jadi amanlah, walau sempat ketakutan juga diriku he he he

Hanya udara dingin yang akhirnya memaksaku melepas kemesraan bersama Mahameru. Dan rasanya ingin kuulang lagi semua hal tadi yang serasa dalam mimpi. Bila saja pasir berbisik ini tidak membuat kakiku terasa berbisa, rasanya ingin lagi dan lagi. Tapi semuanya lebih dari cukup, semua diluar “ekspetasiku”. Dan semuanya menambah rasa syukurku atas apa yang telah aku terima dan rasakan, betapa kehidupan sungguh merupakan anugerah terindah yang telah aku terima hingga saat ini. Banyak hal yang tak pernah aku bayangkan akan aku raih, tapi malah aku dapatkan. Rasanya bonus kehidupan luar biasa berlimpah, tapi semakin mengingatkanku akan “PR” kehidupanku yang masih menantiku.

Kami menikmati kebersamaan itu sambil beristirahat dibawah naungan Cemara Tunggal..

Hmmm...

Terima kasih tak terhingga untuk sebuah kehidupan yang luar biasa indahnya.

Pesona Ranu Kumbolo...

Ranu Kumbolo....

Salah satu danau yang menawan dan memberi pesona yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertamaku. Sekitar empat tahun yang lalu saat beberapa temanku bercerita tentang Semeru aku mencoba mencari tahu tentang Semeru, tapi aku malah mendapatkan hal lain yang menarik hatiku. Aku malah menyukai Ranu Kumbolo, entah karena sesuatu yang subyektif karena aku wanita, yang notabene senang dengan hal hal yang memberikan keindahan? Entahlah, yang jelas daya tarik itu juga yang membuatku sedikit ingin tahu. Semakin melihatnya walau hanya sekedar foto, cukup membuatku terhibur dan semakin membuat rasa ingin tahu seperti apa Ranu Kumbolo itu sebenarnya.

Dan Ranu Kumbolo membuatku harus menanti, dan menjadikannya sebuah penantian yang cukup mengajarkanku sebuah kesabaran. Beberapa kali aku sempat merencanakan kepergianku dan pada kenyataannya aku gagal bertemu Ranu Kumbolo. Entah karena saat itu Semeru yang sedang tidak bersahabat hingga sang waktu yang ternyata tidak memberikan kesempatan itu. Dan semua memang ada waktunya, tak ada yang salah dengan sang waktu. Ia akan memberikan saat itu pada waktunya dan tak ada yang akan bisa menukarnya jika memang sudah saatnya. Sebuah keindahan yang benar benar bisa dirasakan.

Mungkin jika aku terlalu memaksakan dan tidak mau menunggu, aku rasa aku tak akan bisa memahami pesona Ranu Kumbolo itu sendiri. Ranu Kumbolo hanya akan menjadi sebuah Ranu atau danau biasa, mungkin sangat biasa. Tapi saat aku disana saat itu, walau hanya dua malam cukup membuat pesona malam pertama yang luar biasa bagiku. Mungkin ketika bintang bertebaran dilangit malam bukan satu hal yang aneh karena beberapa kali aku juga mengalami hal yang sama dan selalu menimbulkan perasaan takjub dan takjub.

Tapi ketika itu menjadi sebuah bagian dari mimpiku, hal tersebut menjadi lain dan berbeda. Tebaran bintang tak lagi sekedar tebaran, kilauannya menjadi sebuah fenomena yang membuatku bermain main dengan imajinasiku sendiri. Bahkan rasa dingin yang menjalari tubuh tak lagi aku gubris ketika melihat pesona itu. Terlebih ketika pantulan cahaya bintang menimbulkan gambaran tersendiri pada air danau dan kabut yang memberi siluet malam yang indah di Ranu Kumbolo, membuatku ingin diam berlama lama disini.
Aku ingat ketika Roy yang menemaniku bercerita malam itu sempat bercerita tentang Segara Anakan tapi memang berbeda pesonanya.

Ranu Kumbolo...

Terlebih ketika suasana pagi hari tiba, semuanya yang nampak saat malam menjadi lebih jelas disini. Tapi aku tetap menyukai suasana malam, pesona gelap dengan nuansa kabut malamnya ditambah pancaran cahaya bintang dan beberapa cahaya api unggun menjadikan sebuah lukisan malam yang indah.

Yang membuatku semakin takjub adalah saat senja di Ranu Kumbolo. Aku terduduk memandang dari atas tanjakan cinta, menikmati suasana senja itu, tak ada sunset, tapi memandang Ranu Kumbolo saat senja menambah satu pesona kecantikan tersendiri. Sempat aku mencoba mendokumentasikannya, ternyata saat aku cek tak ada tersimpan dalam memori card. Sepertinya ia ingin tersimpan dalam memori otakku he he he

Akhirnya, Ranu Kumbolo memberikan pesona diri yang sengaja diberikan untuk aku nikmati. Kecantikan dan pesona kebersahajaan Ranu Kumbolo yang telah menawan hatiku. Terimakasih tak terhingga untuk semua hal ini, kenangan itu akan selalu ada tersimpan rapi dalam memori hidupku dan akan kuulang...