Thursday 13 June 2013

Duri dan Aku...

Aku jadi inget waktu adikku dan aku iseng ngobrol gak jelas.Tiba tiba adikku bilang gini,”mbak...gw bisa baca garis tangan lo,sini garis tangan lo gw baca.” Sambil dia menarik tangan kiriku, kemudian dengan gaya dan mimik muka serius dia mencoba membaca garis tanganku dan aku tertawa tawa. 
 
“Males ah,kamu ketawa ketawa gitu, beneran tau, temen kampusku aja percaya,”sahut adikku kesal. Mungkin karena aku sedikit tidak percaya dan meremehkan kemampuannya. Aku bertanya padanya,”emang kamu belajar gitu?” Dia menggelengkan kepalanya dan menjawab,”gaklah, tapi percaya deh, gampang kok itu cuma masalah logika aja.

”Ah, kata siapa masalah logika,”sahutku menyanggah jawabannya."Yee, gak percaya...,” balasnya sambil menjambak rambutku dan melepas tanganku karena marah. Aku tertawa dan merayunya agar kembali membacakan hasilnya. “Gak mau ah, gak mood lagi,habisnya sebel...,” raut mukanya lucu kalau lagi marah, dan aku suka sekali melihat hal tersebut. Makanya aku paling sering iseng menggodanya sampai akhirnya dia marah dan aku yang nantinya pasti tertawa senang.

Akhirnya dia kembali membacakan hasil analisanya, dan beberapa ada yang benar dan aku beragumen kalau ada yang benar karena ia sudah tahu karakterku. Kami sempat berdebat  akan hal tadi, tapi yang penting buatku bukan masalah benar atau salah dan apakah sebuah kebetulan saja. Yang pasti ada beberapa hal yang membuatku menjadikannya sebagai bahan instropeksi diri.

Satu kalimat yang sangat kuingat adalah,”masalah kamu tuh sebenarnya diri kamu sendiri mba bukan apa apa, kamu tuh duri buat orang orang disekitarmu.”

Kata kata ini yang tidak aku sanggah!
Untuk hal ini aku setuju dengannya dan aku sangat sadar akan hal ini sejak lama hingga saat ini. Ya, masalahku adalah diriku sendiri dan ini hal yang tersulit aku hadapi: diriku sendiri. Itulah lawan terberatku,”DIRIKU SENDIRI”.

Dia hanya bilang,”hati hati dengan dirimu sendiri.” Dan hingga saat ini aku masih berusaha beradaptasi dengan diriku sendiri. Semua keegoisanku dan semua yang ada dikepalaku. Semua itu yang aku takutkan dan dia paham akan hal ini. Aku takut dengan diriku sendiri, terlebih ketika aku dipuji dan disanjung. Jujur aku menyukainya, sekaligus aku tidak menyukainya.
 
Dia juga bilang,”kamu tuh penakut dan masih mencari sesuatu.” Dan untuk hal ini dia memang paham betul tentangku. Aku memang penakut dan hingga saat ini aku memang dalam pencarian. Mencari makna hidupku dan untuk apa aku ada disini?Aku selalu mempunyai pemikiran bahwa setiap manusia diciptakan mempunyai sebuah maksud. Aku diciptakan bukan sebuah kebetulan, atau kebetulan ada?

Ketika orang bilang aku pintar atau aku baik dan sebagainya, aku takut. Karena sisi lain diriku akan meyukainya dan secara otomatis akan mengeluarkan “Aku” dan kesombongan itu yang pasti keluar. Dan aku takut akan efek yang terjadi setelahnya. Aku takut tidak bisa mengontrol semua hal tersebut.

Setiap saat aku berhadapan dengan diriku sendiri, dan aku tahu apa yang aku takutkan. Duri itu memang aku dan aku menyadarinya. Terlebih orang orang terdekatku, adikku salah satunya. Dia sangat mengenal aku dan sering merasakan duri duri yang menempel bersama diriku. Makanya aku sangat menjaga jarak dengan orang orang yang belum aku kenal dan baru mengenal aku.
 
 Duri yang sering aku tebarkan yang tak ingin aku tancapkan tapi kenyataannya aku dan duri satu kesatuan. Secara otomatis menjadi paket yang menyakitkan. Bibirku ini terlalu tajam menusuk, dan ini yang harus aku jaga, dan kenyataannya sulit! Kadang aku berbicara seperti lupa berpikir apakah menyakitkan buat orang atau tidak, ini yang seringkali menjadi masalah terlebih orang terdekatku.

Semakin orang mengenalku semakin tahu betapa sakit duri yang aku tancapkan. Padahal sepertinya tak ada maksudku untuk membuat orang tersakiti atau terluka. Tapi itulah aku, bersama semua keegoisanku. Aku menyadari hal ini dan akan selalu menjadi PR kehidupanku. Aku tak pernah menyalahkan apapun. Aku adalah aku. Dan akan selalu menjadi aku, hanya aku harus lebih waspada dengan diriku sendiri, sedikit saja aku lengah aku sendiri yang harus merasakan akibatnya.

Karena musuh terberatku adalah diriku sendiri. Lebih mudah melawan hal lain daripada diri sendiri, dan itu sebuah perjuangan. Hmm...

Jadi ingat sebuah cerita dalam buku karangan Antonie De Mello Doa Sang Katak 2 tentang seorang petapa Budha yang bernama Ryonen. Ia adalah cucu Shingen seorang prajurit terkenal. Ia dianggap sebagai salah seorang yang tercantik diseluruh Jepang dan seorang penyair dengan bakat besar.Ia menjadi pelayan Ratu Putri hingga sang ratu wafat. Karena kecintaan dan loyalitasnya ia terluka karena sang ratu wafat tapi ia malah memperoleh pengalaman batin mendalam hingga ia sadar sesuatu bahwa segala sesuatu akan berlalu dan ia memutuskan untuk mempelajari Zen. Tapi ia mendapat banyak tantangan terlebih dari keluarganya. Hingga ia membuat sebuah persyaratan dengan suaminya setelah melahirkan anak ketiga, ia bebas untuk menjadi apa yang diinginkannya. Tapi pada akhirnya bujukan suaminya tidak mempan dan akhirnya ia melaksanakan niatnya. Tapi saat mewujudkan apa yang diinginkannya tidaklah mudah. Beberapa kali ia ditolak menjadi murid para guru yang didatanginya. Alasan para guru tersebut sama, mereka menolaknya karena ia terlalu cantik. Menurut para guru tersebut itu yang nantinya akan menjadi sumber masalah. Akhirnya Ryonen membakar wajahnya dengan besi panas dan kecantikannya rusak, kemudian ia menghadap salah satu guru. Setelah melihat apa yang terjadi padanya, guru tersebut mau menerimanya menjadi murid. Dan ia menulis beberapa puisi. Dan sebuah puisi saat ia akan meninggalkan dunianya yang menarik :

Enam puluh kali mata ini telah memandang keindahan musim gugur...
Tak usahlah menginginkan lebih daripada itu.
Hanya dengarlah suara gemerisik pohon pohon cemara
Saat angin tak berhembus.

No comments:

Post a Comment