Cerita dibalik sebuah cerita...
Kali ini ada sebuah cerita saat aku menggowes si putihku. Biasanya trek yang aku lewati hanya yang sudah aku kenal. Tapi pagi ini aku mencoba trek yang belum aku lewati. Sebenarnya kalau bukan untuk menggowes aku sudah pernah melewati jalan ini, apalagi bila kami ingin makan sop iga, biasanya ibuku pasti langsung menunjuk tempat ini. Dan aku pernah bertanya pada adikku karena ia yang lebih paham untuk jalur gowes. Dan dia hanya menjawab,”gak usah kamu kesana kalau sendirian, tembus ke hutan...” Aku pun kembali bertanya,”emang kenapa?” Dia hanya diam. Tapi aku masih penasaran, hingga pagi ini aku iseng dan mencoba keluar jalur yang biasa aku lewati.
Aku mulai menggowes sekitar jam 5 pagi dengan pemikiran aku ingin lebih pagi pulangnya dan bisa melakukan hal yang lainnya. Dan jalanan pastinya masih sepi, siapa tahu aku dapat matahari pagi, ternyata cuaca cerah bersahabat.
Dan benar jalanan lumayan sepi dan aku mulai menggowes dengan santai. Beberapa kali aku bertemu dengan beberapa orang lainnya, tapi jalur kami berbeda sepertinya. Aku mulai mencoba jalur yang sudah ada dalam pikiranku, aku suka jalanan kampung dengan trek tanah dan berbatu. Menguji nyaliku yang sedikit penakut dengan trek turunan.
Sampai akhirnya aku mulai masuk daerah kawasan industri, dan aku mencoba melihat apakah ada teman lain yang menggowes berbarengan denganku? Ternyata ada dan mereka tampak lincah menggayuh pedal sepeda dibanding aku yang terkadang ngos ngosan apalagi saat melewati beberapa tanjakan tanpa dituntun, biasanya aku jago menuntun .
Aku mencoba perhatikan, pertama yang melewatiku dan tersenyum seorang opah opah, dan aku tersenyum tanda hormat pada orangtua. Tak lama menyusul seorang kakek kakek yang juga tersenyum, aku masih tersenyum. Kemudian lewat lagi sepeda dan aku menengok, masih dengan tampang yang kurang lebih nyaris sama masih juga tersenyum. Dan terakhir sepeda yang menyusulpun seorang simbah, hmmm.... pagi ini kakek ceria yang menemani aku bersepeda, kemana orang mudanya?Jalur mereka sepertinya sama dengan yang aku tuju, ahhh...hebatnya mereka. Terlihat dari cara menggowes yang lebih lihai dibanding aku, mereka terlihat mulai jauh meninggalkan aku. Kakek jangan tunggu aku...
Dan mereka memang tidak menunggu aku, hanya menengok beberapa kali takut aku tersesat atau terjatuh mungkin .
Aku beberapa kali berhenti dan menikmati moment matahari terbit yang tersaji didepan mataku. Dan ini tak akan aku sia siakan begitu saja.
Dan akhirnya aku tiba diatas dan ternyata aku bertemu dengan keempat kakek tadi. Sepertinya mereka sahabat sepeda bukan pena he he he, terlihat dari keakraban mereka dan saat melihat aku mereka tetap tersenyum dan aku terus mengayuh sepedaku. Aku mencoba jalur yang sempat membuatku penasaran dan aku mencobanya, tapi sepi, benar juga kata adikku. Akhirnya aku balik arah dan bertemu keempat kakek tadi. Mereka menyapaku,” mampir sini neng...makan bareng.” Dan aku menjawab,” terimakasih pak...” sambil memamerkan senyum manisku. Aku terus mengayuh sepedaku dan melihat jalanan lainnya yang sepertinya aku belum coba.
Aku bertanya sesuatu pada ibu yang mempunyai warung makan, dimana yang menjual nasi uduk? Karena disini kebanyakan warung nasi plus sop janda (aku kan bukan janda...) .” Diujung jalan sana neng...ada yang jual nasi uduk,” jawab ibu tadi.
Pedal sepeda aku kayuh menuju jalanan berbatu dengan trek menurun,sambil memperhatikan petunjuk tadi.Aku bertanya beberapa kali hingga aku ditunjukkan tempat ibu yang menjual nasi uduk tadi,” dilebak ya neng...” akhirnya aku menemukan rumah ibu yang dimaksud. Tapi nasi uduknya habis !
“ya udah neng, sepedanya taruh disini, coba diwarung deket sekolah biasanya ada yang jual juga,” lanjutnya. Dan aku mengikuti anjurannya, menyimpan sepedaku didepan rumahnya dan berjalan menuju arah tersebut. Aku menemukan warung tersebut, tapi ada laki laki berkumpul diwarung tadi, lebih baik dibungkus saja dan makan ditempat ibu tadi. Aku agak tidak nyaman dengan kumpulan laki laki tadi dan aku wanita sendiri nantinya.
Sampai didepan rumah ibu tadi, aku minta ijin untuk makan didepan rumahnya. Saat makan inilah cerita itu akhirnya dimulai, entah bagaimana ceritanya hingga ibu tadi bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Padahal aku tak memulai apa apa dan tak ingin tahu, hanya menjawab beberapa pertanyaan yang bisa aku jawab tentang diriku. Seperti biasa pertanyaan yang sering ditanyakan banyak orang, sudah menikahkah diriku? Dan aku jawab seperti biasa belum, dan kemudian pertanyaan mulai berkembang, dan akhirnya malah si ibu yang curhat.
Intinya beliau merasa terjebak dalam penikahannya. Agak sedikit aneh memang, tapi aku merasa memang ini realita. Karena saat aku bertanya apakah dijodohkan, jawaban beliau tidak, berarti pilihan sendiri alias dengan orang yang dicintainya kan?Ada sebagian orang mengalami kehidupan rumah tangga tersebut. Aku juga tak berhak mengambil kesimpulan sendiri karena ini hanya cerita satu pihak, dan aku tak pernah tahu permasalahan yang sebenarnya terjadi. Toh, itu masalah mereka, ketika si ibu bercerita aku berpikir kalau ibu ini mungkin butuh teman yang hanya mendengar tanpa tahu apapun. Dan kebetulan aku ada saat itu. Masalah jujur atau tidak bukan urusanku, aku hanya wajib mendengar dan berkomentar seperlunya saja. Karena buatku ketika orang bercerita sesuatu kepadaku, orang tersebut percaya padaku, dan aku tak memaksanya bercerita. Tugasku membuat beliau berpikir kalau beliau tidak sendirian yang mempunyai masalah. Kami lebih banyak tertawa, apalagi saat mendengar ceritaku, ibu tadi banyak tersenyum mendengarnya. Padahal ceritaku hanya cerita biasa.
Beliau sempat berpikir untuk bercerai, dan aku tak bisa menjawab untuk hal tersebut. Toh ibu tadi mempunyai alasan tersendiri dan semoga hanya pemikiran sesaat saja. Satu hal yang aku ingat, beliau hanya berpesan padaku agar berhati hati saat akan menikah nanti. Beliau hanya berkata,”pokoknya nanti kalau neng mau menikah, dilihat gimana orangnya, kalau sudah menikah susah neng.” Sambil tersenyum aku mengiyakannya dan sedikit bingung maksudnya he he he Sudah ada aa nya kan neng? Aku hanya tersenyum kembali...
Aku paham intinya, karena banyak hal yang memang terjadi setelah pernikahan. Adaptasi seumur hidup dan kesetiaan, kalau aku membuat sinonim pernikahan.
Aku tak bisa bercerita apa yang menjadi permasalahan yang diceritakan ibu tadi. Tapi aku hanya membuat sebuah kesimpulan untuk diriku sendiri dan pertanyaan untuk diriku juga. Apakah cinta itu? Kesabaran?
Didalam pemikiranku dan ketika aku dekat dengan seseorang, aku hanya ingin sebuah kenyamanan. Baik untuk aku dan pasanganku kelak, ini hanya pemikiranku, kenyataannya seperti apa beda ceritanya. Aku hanya berpikir bukankah kita bukan individu yang sama? Kita sudah berbeda dari awal, dan konsep itu yang agak sulit dipahami dan diterima kita pada umumnya. Kita sudah mempunyai kebebasan pribadi sebelumnya, dan terkadang kebebasan ini yang diartikan bermacam macam saat kita mulai terikat.Dan semua akhirnya berusaha menyamakan, bukan menerima perbedaan itu.
Rasanya
burung dalam sangkar emas pun akan selalu mempunyai pemikiran untuk
bisa terbang bebas suatu saat nanti, kecuali burung itu sudah lupa
caranya terbang. Toh burung pun bila diberi kebebasan terbang kemanapun
tetap akan selalu kembali pada sarangnya sendiri bukan?
Banyak rumah tangga yang kandas karena salah satu pihak tak tahan dengan pihak lainnya. Kenapa tidak tahan? apakah karena kita berbeda? bukankah kita memang sudah berbeda pada awalnya?aku wanita dirimu pria,aku malas dirimu rajin,aku pemarah dirimu penyabar,aku pelupa dirimu detail,dirimu tepat waktu aku sering terlambat, aku sensitif dirimu tak peka, dan masih banyak yang lainnya. Bukankah itu yang nantinya saling melengkapi?jadi apa yang harus dipermasalahkan??ini hanya cerita diatas cerita...
Bukankah kita tahu itu semua sejak awal kita bertemu? Bahwa kita memang berbeda...
Kecuali kekerasan dalam rumah tangga, lainnya aku masih bisa mengerti. Apalagi kalau ada intimidasi di dalamnya, seperti yang dialami ibu tadi. Bentuk intimidasi bisa macam macam ternyata, dan nyata. Yang penting pengalaman ibu tadi bisa aku jadikan pelajaran yang berharga untuk diriku sendiri.
Wanita memang terkadang berada dalam posisi yang sulit ketika dihadapkan dengan budaya dan norma yang berlaku. Dan kita sendiri yang akhirnya terjebak dan mungkin menjebak diri kita untuk masuk dan menjadi bagian itu sendiri. Ini hanyalah cerita diatas cerita...
No comments:
Post a Comment